17 Januari 2010

Mengintip Musik Dangdut

"... sulingnya suling bambu/gendangnya kulit lembu/dangdut suara gendang/rasa ingin berdendang....”
Begitulah syair lagu Rhoma Irama yang turut mempopulerkan musik dengan bunyi khasnya 'Ndang' dan 'Dut'. Adalah Rhoma yang mengenalkan terminologi ”dangdut” lewat syair lagunya yang berjudul Dangdut, sangat populer pada awal 1970-an. Dan sejak itu, tak bisa lain, musik yang merayu rasa ingin bergoyang ini bernama dangdut.

Musik dangdut tanpa tari (joget) dikatakan Inul Daratista, sayur tanpa garam alias hambar. Begitulah pesan si ratu ngebor. Memang penikmat dangdut sendiri pada kenyataannya seakan mengamini akan hal itu. Rasanya aneh dan ada yang kurang kalau mendengarkan musik dangdut tanpa joget.
Seolah musik dangdut dan joget adalah paket yang tidak boleh terpisahkan. Musik dangdut luruh dan merasuk dalam bentuk ekspresi tariannya (joget). Musik dan joget menjadikan nuansa dangdut semakin hidup. Apalagi ketika dalam panggung-panggung tontonan, si Penyanyi melantunkan lagu bagi penggemarnya komplit dengan goyangannya. Inilah yang menjadi semakin bergairahnya semarak musik dangdut. Terlihat sekali betapa khusuknya bagi mereka yang menghayati dan menikmati musik tersebut. Betapa tidak, saking asyiknya menikmati musik dangdut sambil berjoget, sampai-sampai mata mereka merem-melek. Artinya, Dangdut itu tidak bisa diungkapkan dan diukur dengan kata-kata. Dangdut itu pokoknya nikmat, komunikatif, dan menghibur (Camelia Malik).
Sebagai musik yang identik dengan goyang, tentu saja berbagai macam kreasi tarian pun muncul sebagai pelengkap musik ini. Mulai kalem hingga seronok bahkan erotis. ”Keberanian” goyangan dari dangdut membuat musik ini identik dengan seronok. Terlebih, ketika Inul memperkenalkan goyangan ngebornya. Disusul Uut Permatasari dengan goyang cor, dan Dewi Persik sang penggergaji. Namun, itu tidak semuanya betul. Banyak penyanyi dangdut pula yang tidak mempertontonkan ”keberanian” mereka ketika di atas panggung. Dengan begitu semua, eksistensi musik dangdut tumbuh dengan hibrid baru dari elemen yang mempengaruhinya, goyangan.

Sejarah yang Samar
Kapan sejatinya kemunculan musik dangdut, hingga saat ini masih menjadi perbincangan dan perdebatan. Namun, paling tidak bahwa musik dangdut merupakan proses panjang, bentuk hibrid dari elemen musik yang diambil dan mempengaruhinya. Seperti yang dikatakan oleh Susan Pipper dan Sawung Jabo (1987) bahwa musik dangdut hidup ditengah masyarakat Indonesia untuk berbagai masa.
Ketika pengaruh arab begitu kuatnya, musik ini terkenal dengan nama gambus. Kemudian, terdistorsi juga oleh orkestra melayu pada era Bukit Siguntang. Sekitar tahun 1950-an, ketika film-film India digandrungi di Indonesia, Ellya Khadam mempopulerkannya lewat lagu ”Boneka Dari India”.
Pada perkembangan selanjutnya, Rhoma Irama merekayasa sebuah kreasi aliran musik baru ”dangdut” dengan memasukkan warna musik rock. Yang kemudian dilanjutkan dengan warna musik dangdut yang lebih melancholy, mellow, dan klasik. Sekitar tahun 1990-an dangdut terdistorsi aliran musik dengan penambahan warna musik disko remik. Sampai akhirnya dari berbagai tontonan kita mengenal adanya musik dangdut koplo hingga kini.

Keterbukaan dan Konsistensi
Dibandingkan dengan aliran musik lainnya, dangdut jauh lebih kosmopolit dan terbuka dari yang diduga. Dangdut tidak memilih proteksi dan kejumudan. Menghadapi aliran-aliran musik lainnya, dangdut tidak sibuk melindungi diri. Justru, dangdut sendiri terus (berkreasi) berkembang dan malah menampung dan merangkul eksistensi dari aliran-aliran musik yang ada.
Barangkali kompleksitas musik warna dangdut lebih kaya dari pada aliran musik yang ada. Tak heran, jika kreasi dangdut terus berkembang dengan warna dan wajah yang segar dan berbeda. Sejalan dengan berkembangnya dangdut itu sendiri yang terus terdistorsi oleh zamannya, karakter bunyi 'Ndang' dan 'Dut' tetap melekat sebagai simbol konsistensi dangdut.

"... sulingnya suling bambu/gendangnya kulit lembu/dangdut suara gendang/rasa ingin berdendang....”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar