Perdagangan bebas tampaknya menjadi kebutuhan bagi negara-negara di dunia. Artinya, tiap negara berkeinginan membuka diri terhadap arus lalu lintas barang dan jasa internasional. Hanya saja, persoalan terletak pada waktu pelaksanaannya. Sebab, negara yang belum siap bersaing, pasti akan dirugikan. Hal inilah yang menimbulkan kontroversi ditengah memburuknya kndisi perekonomian Nasional. Hal itu juga terjadi pada kondisi buruh Indonesia yang samapai saat ini belum menemukan jalan keluar untuk menghadapi tantangan pasar bebas.
Semenjak diberlakukannya keputusan perdagangan bebas di wilayah Asean plus China, 10 Januari 2010, membuat para buruh menjadi resah. Aksi turun ke jalan yang dimotori oleh banyak serikat pekerja menuntut dibatalkannya AFTA plus China tidak terelakan lagi. Aksi turun ke jalan merupakan bentuk penolakan terhadap AFTA plus China. Adalah pilihan yang logis ketika para buruh melakukan penolakan atas diberlakukannya perdagangan bebas. Sebab diberlakukannya AFTA plus China secara langsung akan mengancam nasib buruh Indonesia.
Secara sederhana masalah ekonomi adalah persoalan produksi, distribusi, dan konsumsi. Buruh merupakan faktor produksi untuk menghasilkan sebuah produk barang dan jasa. Ketika produk/jasa domestik dalam pasar tidak mamapu bersaing dengan produk Dhina maka hal ini akan mengancam kedudukan buruh sebagai faktor produksi.
Kaitannya, AFTA merupakan bentuk skema dimana dapat melakuan perdagangan bebas dalam suatu area/wilayah, yaitu ASEAN plus China. Skema mewujudkan AFTA plus China melalui: penurunan tarif hingga menjadi 0-5%, penghapusan pembatasan kuantitatif dan hambatan-hambatan non tarif lainnya. Oleh karena itu, hubungannya dengan AFTA bahwa Indonesia merupakan salah satu tujuan dari pasar itu sendiri. Sudah mafhum produk-produk China menawarkan dengan harga yang murah.
Salah satu ancaman AFTA plus China adalah membanjirnya produk-produk China. Produk-produk China yang masuk ke Indonesia dengan harga yang sangat murah. Tentu saja konsumen akan memilih produk-produk yang murah meskipun dengan kualitas yang sedang. Namun dalam jangka panjang justeru akan mengancam keberadaan buruh dalam negeri.
Lalu bagaimanakah dengan pangsa pasar yang sudah ada di Indonesia? bergabungnya China dalam perdagangan bebas ASEAN justru akan merontokkan sektor industri dan mengancam bertambahnya angka pengangguran di dalam negeri. Kondisi seperti ini juga akan merontokan produk-produk domestik yang dibuat oleh para buruh Indonesia. Konsekuensinya akan berimbas pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Sebab, produk-produk yang dihasilkan oleh para buruh nasional tidak mampu bersaing di pasar. Ketidakmampuan dalam persaingan tersebut berdampak pada produk yang dibuat oleh para buruh dalam negeri mau tidak mau harus gulung tikar.
Buruh China dan Buruh Indonesia
Dengan disepakatinya AFTA plus China kesejahteraan buruh dalam negeri akan terlihat sangat mengerikan. Bagi perusahaan industri yang beroperasi di Indonesia akan sangat sulit untuk menentukan dan mencari surplus atau keuntungan. Jurus pamungkas untuk mendapatkan surplus tersebut tidak lain dengan menurunkan tingkat kesejahteraan para buruh.
Dengan diberlakukannya AFTA plus China akan sangat mungkin Upah Minimum Regional (UMR) dan (Kondisi Hidup Layak) KHL hanya akan menjadi catatan yang tidak berguna. Mengingat bahwa kondisi ketenagakerjaan saat ini sudah berhadapan vis a vis dengan pasar bebas. Seorang calon tenaga kerja akan melakukan apa saja demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu tingkat pengangguran sangat tinggi sekali.
Berbeda dengan nasib buruh di negeri China. Jika kita membandingkan antara buruh dalam negeri dengan China akan sangat berbeda. Nasib buruh dalam negeri tidak begitu diurusi/diperhatikan tingkat kelayakan hidup oleh pemerintah. Apalagi soal kesejahteraan buruh. Pemerintah hanya memberikan kebijakan yang hanya bersifat kauntitaif saja. Bahwa tingkat kelayakan hidup dan kesejahteraan hanya bisa diukur dengan penetapan-penetapan kauntitatif seperti UMR dan KHL.
Pemerintah China sangat konsen dengan nasib kesejahteraan buruhnya. Memang secara kuantitas imbalan yang diterima oleh buruh China sangat murah. Namun, kebutuhan-kebutuhan dasar sebagai buruh dan warga negara telah terpenuhi. Apabila dibandingkan pada tingkat imbalan yang diberikan kepada buruh China dan Indonesia, misalnya, Rp 1.000.000,00. Maka secara kuantitas jumlahnya sama. Namun secara kualitas tingkat kesejahteraan yang diterima akan menunjukan nilai berbeda.
Kualitas kesejahteraan tersebut bisa dilihat dari variabel pengeluaran yang dilakukan buruh China dan buruh Indonesia. Tingakat pengeluaran buruh China lebih sedikit dari pada buruh Indonesia. Pemerintah China menjamin kesejahteraan buruhnya dengan membebaskan biaya untuk pengeluaran tertentu misalnya transportasi, Pendidikan, dll.
Menurut survei buruh Indonesia harus mengeluarkan 30% dari imbalan yang diterimanya untuk biaya transportasi. Sisanya, sebanyak 70% untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari, biaya pendidikan, dan rekreasi.
Hal ini berbeda dengan nasib buruh di China. Pemerintah China sangat konsen untuk mendukung tingkat kesejahteraan buruh sebagai faktor produksi industrinya. Pemerintah telah menyediakan sistem infrastruktur yang mendukung kenyamanan dan kesejahteraan bagi para buruh. Sistem transportasi publik yang gratis bagi buruh. Begitupun dengan biaya pendidikan yang diberlakukan secara gratis.
Dengan kata lain, imbalan yang diterima oleh buruh China dan Indonesia secara kualitatif mempunyai nilai yang berbeda. Buruh Indonesia harus menghitung kembali agar imbalan Rp 1.000.000 digunakan untuk berbagai macam pengeluaran. Sedangkan Buruh China hanya akan melakukan pengeluaran dari imbalan yang diterimanya untuk biaya konsumsi sehari-hari saja.
Assww.
BalasHapusWah bagus juga analisisnya, semoga sukses ke depan,
Wass, Syahganda Nainggolan, KOBAR
Wa'alaikum salam Wr. Wb.
BalasHapusTerima kasih. Maaf, ini juga dari hasil diskusi teman2 yang kemudian saya catat.