19 Januari 2010

Intermediasi Bank Dalam Penyaluran KUR Belum Optimal


Sudah mafhum bagi pelaku usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) terhambat oleh berbagai persyaratan untuk mendapatkan kredit di bank. Apalagi semenjak adanya kebijakan manajemen risiko yang berkiblat kepada Basel II. Bank harus berpegang pada prinsip kehati-hatian dalam memberikan kucuran kreditnya kepada nasabah untuk menghindari risiko kreditnya.
Pelaku usaha UMKM umumnya tidak memenuhi standard untuk mendapatkan fasilitas kredit dari bank. Oleh karenanya pemerintah memberikan skema kebijakan fasilitas kredit bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) berupa fasilitas Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Setiap tahunnya pemerintah menyediakan dana 2 triliun untuk menambah modal penjamin KUR. Dengan modal yang dijaminkan oleh pemerintah diharapkan bank dapat menyalurkan kreditnya dengan aman kepada pelaku UMKM yang tidak lulus sensor.
Maksud dari pemerintah menyediakan dana 2 triliun adalah lebih menitikberatkan terhadap jaminan kredit atas kredit yang dikucurkan terhadap pelaku UMKM. Kredit merupakan pinjaman uang yang diberikan oleh pemberi kredit (bank, lembaga keuangan) kepada nasabahnya, yaitu pelaku UMKM. Apabila terjadi risiko bahwa pada waktunya nasabah tidak mampu memenuhi kewajibannya kepada pemberi kredit maka pemerintah sebenarnya sudah memberikan pertanggungan kepada tertanggung.
Sebenarnya tujuan dari pemberian jaminan tersebut lebih pada perlindungan resiko kredit terhadap pemberi kredit. Yaitu, resiko dari kemungkinan tidak diperolehnya kembali kredit yang diberikan kepada nasabahnya. Sehingga dengan jaminan tersebut kredit yang diberikan kepada pelaku UMKM memberikan keamanan tersendiri bagi bank itu sendiri.
Dengan adanya kebijakan pemerintah tersebut, bank akan terdorong untuk lebih giat membantu para pelaku usaha kecil dan menengah dalam menyediakan modalnya untuk melakukan usahanya.
Selain itu, pelaku UMKM akan lebih terjamin dalam mengajukan kredit untuk mengembangkan usahanya. Skema Penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) adalah skema Kredit/Pembiayaan yang khusus diperuntukkan bagi UMKM dan Koperasi yang usahanya layak namun tidak mempunyai agunan yang cukup sesuai persyaratan yang ditetapkan Perbankan. Tujuan akhir diluncurkan Program KUR adalah meningkatkan perekonomian, pengentasan kemiskinan dan penyerapan tenaga kerja.
Sampai tahun 2009, porsi nilai kredit UMKM menunjukan peningkatan dibandingkan dengan periode tahun 2008 yang hanya 47,61 persen. Data Bank Indonesia menyebutkan, posisi nilai kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di perbankan nasional per November 2009 mencapai Rp 724,81 triliun atau 51,34 persen dari total kredit perbankan senilai Rp 1.398 triliun. Artinya, kredit yang diberikan bank kepada pelaku UMKM meningkat sebesar 3.73 persen dari total nilai kredit sebesar sebesar Rp 1.398 triliun.

Penyaluran Kredit KUR Belum Optimal
Salah satu pendorong maraknya kredit UMKM adalah kredit usaha rakyat (KUR), yang diluncurkan sejak November 2007. Namun dalam prakteknya penyaluran kredit yang dilakukan bank bagi usaha rakyat tersebut dirasa belum optimal.
Menurut Direktur UMKM BRI yang dikutip dari media cetak bahwa jumlah KUR hingga akhir November 2009 mencapai Rp 12,03 triliun dengan jumlah nasabah 2,3 juta debitor. Dengan kata lain, porsi KUR sebesar 1,66 persen dari total kredit UMKM senilai Rp 724,81 triliun.
Jika diporsikan terhadap total nilai kredit yang digelontorkan terhadap total nilai kredit perbankan senilai Rp 1.398 triliun maka menunjukan angka 0,86 persen. Penggunaan fasilitas kredit usaha rakyat yang disalurkan oleh bank belum menunjukan optimalisasi. Fungsi intermediasi bank untuk menyalurkan KUR belum menujukan geliat yang maksimal atau jalan di tempat.
Hal ini juga bisa dihitung dengan jumlah debitor yang menggunakan fasilitas kredit KUR bahwa penggunaan fasilitas KUR masih sangat kecil dibandingkan dengan jumlah UMKM di Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik pelaku UMKM berjumlah 48,8 juta unit usaha. Dari jumlah itu, hanya 19,1 juta atau 39,06 persen yang telah mendapat kredit perbankan. Dari 48,8 juta UMKM, sekitar 90 persen adalah usaha mikro yang berbentuk usaha rumah tangga, pedagang kaki lima, dan berbagai jenis usaha mikro lain yang bersifat informal.
Dengan kata lain, kemungkinan yang sangat besar bahwa banyak usaha mikro informal yang belum menggunakan fasilitas KUR. Atau, fungsi bank yang ditunjuk untuk mengintermediasi KUR kepada UMKM  belum menjalankan fungsinya secara optimal.

* diambil dari berbagai sumber.

17 Januari 2010

Meneropong Sisi Lain Desa


Dalam perjalanan kita ke kota dalam waktu yang lama seringkali kita teringat akan alam tempat kita berasal. Sebuah jelajah yang akan membuat kita tersenyum dan berpikir ulang mengenai hidup kita saat ini. Alam yang akan mengisi kembali celah kosong relung-relung rindu, menyegarkan kembali buncah-buncah otak kita, dan me-reverse tindakan-tindakan kita baik dahulu maupun saat ini.

Desa tempat kita berasal dan tempat kita dibesarkan. Tempat yang memberikan bentuk diri  saat ini dan mengajarkan begitu banyak pelajaran sebagai bekal kita menjalani kehidupan. Sebuah ungkapan yang sering dilontarkan oleh Selo Soemarjdan dalam kajiannya dalam kehidupan warga desa. Warga desa begitu mengesankan dengan segala kesederhanannya dan keluguannya. Melihat hidup dari satu sisi keharmonisan. Harmonis karena hidup berdasarkan pada alam yang berdekatan dan orang yang selalu berdampingan.


Alam sebagai teman hidup, selalu memberikan kesenangan dan pelajaran. Kesenangan sehingga kita selalu menjaga alam desa kita dari kerusakan. Saat ini begitu banyak perubahan pada alam sekitar yang  disebabkan hadirnya teknologi dan kebutuhan manusia. Sungai tidak lagi mempunyai kedung karena sudah ditembok beton pinggir-pinggirnya, sawah sudah diganti dengan rumah. Begitu banyak perubahan yang terjadi dalam hidup kita yang belum sempat kita sadari.

Ditengah kesemerawutan modernitas, kapan kita menghadirkan kembali desa yang jujur, lugu, kesejukan, dan yang memberikan kita akan nilai sekaligus pelajaran?




Pangeran itu Bernama Ontowiryo

“Ingatlah selalu, Ontowiryo, untuk menjadi manusia yang bertanggung jawab sebagai khalifatullah, adalah tidak berhenti belajar, terus meningkatkan ilmu” begitu pesan Ratu Ageng sebelum mangkat kepada cucunya, Pangeran Diponegoro.


Sebagai manusia, kehidupan di dunia merupakan proses menuju Yang Esa. Dibekali oleh-Nya berupa hati, pikiran, dan akal inilah yang membedakan manusia dengan hewan. Dengan bekal itu, manusialah yang paling mampu atas amanah dari Tuhannya sebagai khalifah di muka bumi.

Oleh karenanya, dalam konteks keterjajahan dan ketertindasan atas Belanda beserta anjing-anjingnya yang tidak lain adalah bangsa sendiri yang membenalu, harus dilawan! Kewajiban setiap insan manusia untuk merubah Sejarah. Agar kita mempunyai arti bagi diri sendiri, bangsa dan tanah air serta pertanggungjawaban kita terhadap Tuhan yang Maha Kuasa.

Sebab bahwa hidup harus eling, adalah karunia. Tidak ada satu pun manusia yang dilahirkan oleh rahim ibunya, yang hidup tanpa rencana Tuhan, Allah SWT. Eling yang kedua, bersyukur karena hidup itu, dan tanggung jawab untuk menjaga hidup itu tidak sia-sia, supaya punya arti dan manfaat bagi dirinya sendiri menyangkut dengan ilahi, dan juga bagi diri masyarakat menyangkut hubungan kerakyatan dan kebangsaan serta tanah air yang dianugerahkan Tuhan.

Adalah Ontowiryo satu-satunya keturunan raja yang mampu menyibak tabir kepalsuan untuk bangkit melawan terhadap kebatilan yang melahirkan penindasan dan penjajahan. Ontowiryo yang tidak lain adalah Pangeran Diponegoro berijtihad, (dalam tradisi Islam) melawan kebatilan dan ketertindasan.

”Bagaimanapun dewan perwalian tidak boleh bertentangan dengan kebijakan Belanda.” Jelas Danurejo IV dalam rapat untuk penunjukan dewan perwalian Sri Sultan HB V yang masih balita.
”Ah, itu menghina harkat saya. Itu berarti sengaja menggadaikan kepala kita sebagai antek Belanda. Kalau sampeyan merasa itu benar, silakan saja. Tapi saya menolak.” tegas Ontowiryo.

Dan, sebagai bangsa yang merdeka, kita sendiri yang berkewajiban mengatur negara kita, tidak dibawah bayang-bayang bangsa Belanda atau bangsa manapun. Tidak ada penindasan satu bangsa kepada bangsa lain, termasuk bangsa sendiri terhadap bangsa sendiri. Sebab manusia diciptakan oleh Allah SWT, semuanaya bebas menentukan masa depannya, dan bebas pula melakukan hal-hal yang baik sesuai gatra suara nurani yang mukim dalam dirinya. [diambil dari Novel Pangeran Diponegoro Menuju Sosok Khalifah]

Mengintip Musik Dangdut

"... sulingnya suling bambu/gendangnya kulit lembu/dangdut suara gendang/rasa ingin berdendang....”
Begitulah syair lagu Rhoma Irama yang turut mempopulerkan musik dengan bunyi khasnya 'Ndang' dan 'Dut'. Adalah Rhoma yang mengenalkan terminologi ”dangdut” lewat syair lagunya yang berjudul Dangdut, sangat populer pada awal 1970-an. Dan sejak itu, tak bisa lain, musik yang merayu rasa ingin bergoyang ini bernama dangdut.

Musik dangdut tanpa tari (joget) dikatakan Inul Daratista, sayur tanpa garam alias hambar. Begitulah pesan si ratu ngebor. Memang penikmat dangdut sendiri pada kenyataannya seakan mengamini akan hal itu. Rasanya aneh dan ada yang kurang kalau mendengarkan musik dangdut tanpa joget.
Seolah musik dangdut dan joget adalah paket yang tidak boleh terpisahkan. Musik dangdut luruh dan merasuk dalam bentuk ekspresi tariannya (joget). Musik dan joget menjadikan nuansa dangdut semakin hidup. Apalagi ketika dalam panggung-panggung tontonan, si Penyanyi melantunkan lagu bagi penggemarnya komplit dengan goyangannya. Inilah yang menjadi semakin bergairahnya semarak musik dangdut. Terlihat sekali betapa khusuknya bagi mereka yang menghayati dan menikmati musik tersebut. Betapa tidak, saking asyiknya menikmati musik dangdut sambil berjoget, sampai-sampai mata mereka merem-melek. Artinya, Dangdut itu tidak bisa diungkapkan dan diukur dengan kata-kata. Dangdut itu pokoknya nikmat, komunikatif, dan menghibur (Camelia Malik).
Sebagai musik yang identik dengan goyang, tentu saja berbagai macam kreasi tarian pun muncul sebagai pelengkap musik ini. Mulai kalem hingga seronok bahkan erotis. ”Keberanian” goyangan dari dangdut membuat musik ini identik dengan seronok. Terlebih, ketika Inul memperkenalkan goyangan ngebornya. Disusul Uut Permatasari dengan goyang cor, dan Dewi Persik sang penggergaji. Namun, itu tidak semuanya betul. Banyak penyanyi dangdut pula yang tidak mempertontonkan ”keberanian” mereka ketika di atas panggung. Dengan begitu semua, eksistensi musik dangdut tumbuh dengan hibrid baru dari elemen yang mempengaruhinya, goyangan.

Sejarah yang Samar
Kapan sejatinya kemunculan musik dangdut, hingga saat ini masih menjadi perbincangan dan perdebatan. Namun, paling tidak bahwa musik dangdut merupakan proses panjang, bentuk hibrid dari elemen musik yang diambil dan mempengaruhinya. Seperti yang dikatakan oleh Susan Pipper dan Sawung Jabo (1987) bahwa musik dangdut hidup ditengah masyarakat Indonesia untuk berbagai masa.
Ketika pengaruh arab begitu kuatnya, musik ini terkenal dengan nama gambus. Kemudian, terdistorsi juga oleh orkestra melayu pada era Bukit Siguntang. Sekitar tahun 1950-an, ketika film-film India digandrungi di Indonesia, Ellya Khadam mempopulerkannya lewat lagu ”Boneka Dari India”.
Pada perkembangan selanjutnya, Rhoma Irama merekayasa sebuah kreasi aliran musik baru ”dangdut” dengan memasukkan warna musik rock. Yang kemudian dilanjutkan dengan warna musik dangdut yang lebih melancholy, mellow, dan klasik. Sekitar tahun 1990-an dangdut terdistorsi aliran musik dengan penambahan warna musik disko remik. Sampai akhirnya dari berbagai tontonan kita mengenal adanya musik dangdut koplo hingga kini.

Keterbukaan dan Konsistensi
Dibandingkan dengan aliran musik lainnya, dangdut jauh lebih kosmopolit dan terbuka dari yang diduga. Dangdut tidak memilih proteksi dan kejumudan. Menghadapi aliran-aliran musik lainnya, dangdut tidak sibuk melindungi diri. Justru, dangdut sendiri terus (berkreasi) berkembang dan malah menampung dan merangkul eksistensi dari aliran-aliran musik yang ada.
Barangkali kompleksitas musik warna dangdut lebih kaya dari pada aliran musik yang ada. Tak heran, jika kreasi dangdut terus berkembang dengan warna dan wajah yang segar dan berbeda. Sejalan dengan berkembangnya dangdut itu sendiri yang terus terdistorsi oleh zamannya, karakter bunyi 'Ndang' dan 'Dut' tetap melekat sebagai simbol konsistensi dangdut.

"... sulingnya suling bambu/gendangnya kulit lembu/dangdut suara gendang/rasa ingin berdendang....”

14 Januari 2010

Kaum Muda; Sumber Daya Kompetitif Daerah

Nuansa perhelatan akbar pemilihan langsung bupati kabupaten Kebumen mulai menghangat. Poster-poster para bakal calon bupati mulai terpampang diberbagai sudut tempat-tempat strategis. Desas-desus dan rumor pencalonan para bakal calon sudah mulai masuk ke telinga-telinga masyarakat. Bahkan para bakal calon yang positif menjagokan diri dalam bursa pencalonan bupati sudah melakukan strategi-strategi kampanyenya. Bahkan secara khusus salah satu bakal calon bupati menciptakan lagu yang sengaja diputar di radio-radio di wilayah Kebumen. Facebook-pun tak lepas sebagai media sosialisasi bakal calon.

Menurut beberapa sumber informasi untuk menjalankan perhelatan akbar tersebut, Pemkab Kebumen telah mengalokasikan anggaran yang terhitung tidak sedikit untuk pelaksanaan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati (Pilbup) Kebumen tahun 2010. Sekurang-kurangnya pemerintah kabupaten telah menganggarkan dana sebesar Rp 21,8 M. Dari dana sebanyak itu KPU akan mengelola Anggaran sebesar Rp 17 miliar dengan asumsi Pilbup sampai dua putaran. Panwaslu Kabupaten Kebumen Rp 3 miliar, Badan Kesbangpolinmas Rp 1,122 miliar, dan sisanya dikelola Bagian Tata Pemerintahan dan Otonomi dan Sekretariat DPRD Kebumen (Wawasan).

Bukan menjadi perkara yang murah untuk melangsungkan perhelatan perebutan kursi Kebumen I dan II. Seyogyanya, warga masyarakat yang peduli terhadap proses pembangunan daerah harus tetap cerdas dan rasional dalam melakukan pilihan-pilihan untuk peduli terhadap pembangunan daerah. Dan pemilihan bupati dan wakil bupati merupakan salah satu proses ikhtiar melakukan proses pembangunan daerah. Pemilihan bupati dan wakil bupati hendaknya dilakukan secara efektif dan efisien dalam bingkai demokratisasi yang sehat dengan mempertimbangkan aspek-aspek jangka panjang.

Secara umum, paradigma pemilihan kepala daerah tingkat II masih dianggap sebagai perebutan kekuasaan yang sifatnya jangka pendek. Aspek-aspek jangka panjang masih belum teragendakan dalam proses pemilihan langusung para kepala daerah. Pengembangan sumber daya manusia khususnya kaum muda merupakan agenda jangka panjang yang tidak boleh dilupakan. Sampai saat ini, pembangunan daerah di sektor sumber daya manusia kaum muda masih tersisihkan. Proses pengkaderan yang mengikutsertakan dalam proses perhelatan pemilihan langsung pemimpin daerah belum dilakukan secara maksimal. Hal ini karena perilaku baik dari partai politik pengusung calon pemimpin daerah dan pemerintah kabupaten masih sangat kuat dengan sikap status quo golongan tua. Kaum muda masih belum diberikan arena untuk proses pengambilan resiko.

Peluang Otonomi Daerah
Pasal 1 ayat 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjelaskan bahwa Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan otonomi tersebut pemerintah daerah dapat membantu dalam mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melaui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demikrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan suatu daerah dalam bingkai NKRI. Daerah tingkat II merupakan basis kebijakan yang riil dan langsung dirasakan oleh rakyat. Dengan demikian daerah tingkat II akan lebih fokus dalam menyelesaikan pekerjaan rumahnya.

Bagi daerah yang visioner, otonomi daerah merupakan peluang dan kesempatan untuk lebih berdikari dalam membangun daerahnya dengan optimal. Pada prinsipnya otonomi daerah adalah otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Pemerintah daerah mempunyai peluang untuk lebih berkonsentrasi mengurusi kerumahtanggaan daerahnya. Kesempatannya, pemda akan mengolah keunggulan dan potensi yang dimiliki setiap daerah. Sehingga, dalam bingkai NKRI akan terlihat majememuk.

Jangka panjang, kaum muda sebagai bagian dari potensi sumber daya manusia daerah merupakan kekuatan dan keunggulan kompetitif daerah dalam membangun daerah. Semua sepakat bahwa sumber daya manusia khususnya kaum muda merupakan kunci menuju keunggulan yang kompetitif daerah. Kaum muda pada umunya mempunyai potensi psikologis semangat yang luar biasa. Namun kadang psikologis semangat tersebut masih dipandang sebelah mata. Seharusnya hal tersebut menjadikan apresiasi tersendiri sebagai modal pembangunan daerah. Sebab, banyak kaum muda harus meninggalkan daerahnya karena ketidakadaan arena dalam melakukan kreatifitasnya.

Adalah pilihan yang rasional ketika pemuda desa harus kabur ke kota untuk mencari arena dalam melakukan pencarian hidup. Sebab, daerah tidak mampu menyediakan ruang gerak bagi kaum muda dalam mengekspresikan potensi yang dimilikinya. Dengan kata lain, daerah harus mampu menyediakan ruang gerak dan fungsi pengkaderan bagi kaum muda.

Mengingat bahwa pemilihan kepala daerah tingkat kabupaten akan segera dilaksanakan. Oleh karenanya, terkait dengan hal tersebut seyogyanya menjadi strategis ketika memperhitungkan kekuatan dan kemampuan kaum muda sebagai sumber daya manusia yang kompetitif.

11 Januari 2010

AFTA plus China dan Nasib Buruh

Perdagangan bebas tampaknya menjadi kebutuhan bagi negara-negara di dunia. Artinya, tiap negara berkeinginan membuka diri terhadap arus lalu lintas barang dan jasa internasional. Hanya saja, persoalan terletak pada waktu pelaksanaannya. Sebab, negara yang belum siap bersaing, pasti akan dirugikan. Hal inilah yang menimbulkan kontroversi ditengah memburuknya kndisi perekonomian Nasional. Hal itu juga terjadi pada kondisi buruh Indonesia yang samapai saat ini belum menemukan jalan keluar untuk menghadapi tantangan pasar bebas.
Semenjak diberlakukannya keputusan perdagangan bebas di wilayah Asean plus China, 10 Januari 2010, membuat para buruh menjadi resah. Aksi turun ke jalan yang dimotori oleh banyak serikat pekerja menuntut dibatalkannya AFTA plus China tidak terelakan lagi. Aksi turun ke jalan merupakan bentuk penolakan terhadap AFTA plus China. Adalah pilihan yang logis ketika para buruh melakukan penolakan atas diberlakukannya perdagangan bebas. Sebab diberlakukannya AFTA plus China secara langsung akan mengancam nasib buruh Indonesia.
Secara sederhana masalah ekonomi adalah persoalan produksi, distribusi, dan konsumsi. Buruh merupakan faktor produksi untuk menghasilkan sebuah produk barang dan jasa. Ketika produk/jasa domestik dalam pasar tidak mamapu bersaing dengan produk Dhina maka hal ini akan mengancam kedudukan buruh sebagai faktor produksi.
Kaitannya, AFTA merupakan bentuk skema dimana dapat melakuan perdagangan bebas dalam suatu area/wilayah, yaitu ASEAN plus China. Skema mewujudkan AFTA plus China melalui: penurunan tarif hingga menjadi 0-5%, penghapusan pembatasan kuantitatif dan hambatan-hambatan non tarif lainnya. Oleh karena itu, hubungannya dengan AFTA bahwa Indonesia merupakan salah satu tujuan dari pasar itu sendiri. Sudah mafhum produk-produk China menawarkan dengan harga yang murah.
Salah satu ancaman AFTA plus China adalah membanjirnya produk-produk China. Produk-produk China yang masuk ke Indonesia dengan harga yang sangat murah. Tentu saja konsumen akan memilih produk-produk yang murah meskipun dengan kualitas yang sedang. Namun dalam jangka panjang justeru akan mengancam keberadaan buruh dalam negeri.
Lalu bagaimanakah dengan pangsa pasar yang sudah ada di Indonesia? bergabungnya China dalam perdagangan bebas ASEAN justru akan merontokkan sektor industri dan mengancam bertambahnya angka pengangguran di dalam negeri. Kondisi seperti ini juga akan merontokan produk-produk domestik yang dibuat oleh para buruh Indonesia. Konsekuensinya akan berimbas pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Sebab, produk-produk yang dihasilkan oleh para buruh nasional tidak mampu bersaing di pasar. Ketidakmampuan dalam persaingan tersebut berdampak pada produk yang dibuat oleh para buruh dalam negeri mau tidak mau harus gulung tikar.

Buruh China dan Buruh Indonesia
Dengan disepakatinya AFTA plus China kesejahteraan buruh dalam negeri akan terlihat sangat mengerikan. Bagi perusahaan industri yang beroperasi di Indonesia akan sangat sulit untuk menentukan dan mencari surplus atau keuntungan. Jurus pamungkas untuk mendapatkan surplus tersebut tidak lain dengan menurunkan tingkat kesejahteraan para buruh.
Dengan diberlakukannya AFTA plus China akan sangat mungkin Upah Minimum Regional (UMR) dan (Kondisi Hidup Layak) KHL hanya akan menjadi catatan yang tidak berguna. Mengingat bahwa kondisi ketenagakerjaan saat ini sudah berhadapan vis a vis dengan pasar bebas. Seorang calon tenaga kerja akan melakukan apa saja demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu tingkat pengangguran sangat tinggi sekali.
Berbeda dengan nasib buruh di negeri China. Jika kita membandingkan antara buruh dalam negeri dengan China akan sangat berbeda. Nasib buruh dalam negeri tidak begitu diurusi/diperhatikan tingkat kelayakan hidup oleh pemerintah. Apalagi soal kesejahteraan buruh. Pemerintah hanya memberikan kebijakan yang hanya bersifat kauntitaif saja. Bahwa tingkat kelayakan hidup dan kesejahteraan hanya bisa diukur dengan penetapan-penetapan kauntitatif seperti UMR dan KHL.
Pemerintah China sangat konsen dengan nasib kesejahteraan buruhnya. Memang secara kuantitas imbalan yang diterima oleh buruh China sangat murah. Namun, kebutuhan-kebutuhan dasar sebagai buruh dan warga negara telah terpenuhi. Apabila dibandingkan pada tingkat imbalan yang diberikan kepada buruh China dan Indonesia, misalnya, Rp 1.000.000,00. Maka secara kuantitas jumlahnya sama. Namun secara kualitas tingkat kesejahteraan yang diterima akan menunjukan nilai berbeda.
Kualitas kesejahteraan tersebut bisa dilihat dari variabel pengeluaran yang dilakukan buruh China dan buruh Indonesia. Tingakat pengeluaran buruh China lebih sedikit dari pada buruh Indonesia. Pemerintah China menjamin kesejahteraan buruhnya dengan membebaskan biaya untuk pengeluaran tertentu misalnya transportasi, Pendidikan, dll.
Menurut survei buruh Indonesia harus mengeluarkan 30% dari imbalan yang diterimanya untuk biaya transportasi. Sisanya, sebanyak 70% untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari, biaya pendidikan, dan rekreasi.
Hal ini berbeda dengan nasib buruh di China. Pemerintah China sangat konsen untuk mendukung tingkat kesejahteraan buruh sebagai faktor produksi industrinya. Pemerintah telah menyediakan sistem infrastruktur yang mendukung kenyamanan dan kesejahteraan bagi para buruh. Sistem transportasi publik yang gratis bagi buruh. Begitupun dengan biaya pendidikan yang diberlakukan secara gratis.
Dengan kata lain, imbalan yang diterima oleh buruh China dan Indonesia secara kualitatif mempunyai nilai yang berbeda. Buruh Indonesia harus menghitung kembali agar imbalan Rp 1.000.000 digunakan untuk berbagai macam pengeluaran. Sedangkan Buruh China hanya akan melakukan pengeluaran dari imbalan yang diterimanya untuk biaya konsumsi sehari-hari saja.