29 September 2010

Perempuan dan Semangat Kewirausahaan

Keputusan bisnis selalu mengandung resiko yang tidak menentu mengikuti kondisi pasar. Sikap luwes cocok dalam menghadapi pasar. Perasaan dan insting perempuan dalam memprediksi pasar kadang lebih akurat. Kadang, perempuan sebagai sumber daya manusia yang kompetitif penuh semangat untuk berwirausaha masih dipandang sebelah mata. 

Tidak banyak perempuan yang bergelut dengan berwirausaha. Masih banyak kendala yang menjadi penghalang para perempuan dalam berwirausaha terutama faktor sosiologis - gender. Banyak dari pelaku usaha perempuan beralasan lebih karena terdesak oleh keadaan yang memaksa untuk berwirausaha. Mulanya, perempuan berwirausaha membantu suaminya demi memenuhi kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan pendidikan anakanya. Surtini Suderajat penerima PWI Award 2010 sebagai pengusaha Kebumen yang berhasil menjelaskan bahwa kurang dari 30 persen perempuan yang terjun di bidang wirausaha. Dan, masih banyak perempuan yang masih terhalang oleh faktor sosiologis untuk berwirausaha.
Memang, Ritzer (2004), tampaknya tak terbantahkan bahwa gender seseorang – laki-laki atau perempuan – berbasis biologis. Orang dipandang sekedar menampilakan perilaku yang tumbuh dari tampilan biologis mereka. Jenis kelamin (sexiness) jelas merupakan capaian; orang butuh bertindak dan bicara dengan satu dan lain cara agar bisa terlihat “berjenis kelamin”. Najlah Nakiyah (2005) namun, istilah gender dipakai untuk pengertian jenis kelamin secara non-biologis, yaitu secara sosiologis dimana perempuan direkonstruksikan sebagai mahluk yang lemah lembut sedangkan laki-laki sebagai mahluk yang perkasa. Hal yang sama juga dijelaskan bahwa gender adalah perbedaan peran, perilaku, perangai laki-laki dan perempuan oleh budaya/masyarakat melalui interpretasi terhadap perbedaan  biologis laki-laki dan perempuan. Jadi gender, tidak diperoleh sejak lahir tapi dikenal melalui proses belajar (sosialisasi) dari masa anak-anak hingga dewasa.
Mulyanto (2006) mengatakan gender dan kegiatan usaha seringkali tidak bisa diabaikan keterkaitannya. Beberapa jenis usaha sangat beraroma gender. Tambunan (2006) menjelaskan ada perbedaan antara penguasaha perempuan dan pengusaha laki-laki, yang ditentukan terutama oleh budaya dan aspek-aspek yang menyentuh seperti penilaian sosial/masyarakat umum terhadap perempuan karier, beban rangkap (sebagai ibu rumah tangga dan pelaku bisnis) dan keterbatasan mobilitas. Dalam kehidupan masyarakat Asia Tenggara, perempuan adalah penguasa dapur. Artinya, perempuan menguasai pengelolaan keuangan, redistribusi pendapatan, dan alokasi konsumsi. Latar sosial-budaya inilah yang bisa menjawab pertanyaan mengenai hubungan perempuan dengan usaha kecil.


Keunggulan kompetitif Perempuan
Nyatanya, jika dibandingkan dengan laki-laki, perempuan mempunyai keunggulan sumber daya manusia kompetitif dalam berwirausaha. Meskipun pada dasarnya perempuan lebih feminim yang tidak identik dengan sikap-sikap kewirausahaan sedangkan maskulin yang identik dengan kewirausahaan. Maskulin identik dengan keperkasaan, bergelut di sektor publik, jantan, agresif. Sedangkan feminim identik dengan lemah lembut, berkutat di sektor domestik (rumah), pesolek, pasif, dan lemah. Fakih (1996) mengemukakan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa.
Namun tidak sedikit pula pelaku usaha yang dijalankan atau dikelola oleh perempuan telah berhasil. Harus diakui perempuan mempunyai sikap dan nilai-nilai kewirausahaan yang terpendam. Jika dikembangkan akan menjadi keunggulan kompetitif wirausaha. Misalnya, perempuan lebih peka terhadap perasaan dan insting yang kuat dalam menyikapi kondisi pasar (market) atau kondisi pasar yang akan terjadi. Kelebihan yang lain antara lain, mempunyai keuletan, dan etos kerja yang tinggi. Perempuan lebih tahan terhadap kondisi pasar yang tidak mendukung dalam berwirausaha sebab pada dasarnya perempuan mempunyai sifat ketahan yang luar biasa terhadap tekanan.
Dalam menjalankan kegiatan dan keputusan bisnis memerlukan sikap dan perilaku luwes yang justeru dominan dimiliki oleh perempuan dari pada laki-laki. Sebab, setiap kegiatan dan keputusan bisnis selalu mengandung resiko yang tidak menentu. Selain itu, keberhasilan perempuan juga ditunjang dari kelebihan-kelebihan perempuan yang merupakan faktor dominan terhadap keberhasilannya sebagai pelaku usaha, antara lain telaten, jujur sehingga lebih dipercaya, ulet, sabar, teliti, cermat, serius tekun, tangguh, ikhlas, dan tidak egois.


Kelemahan-kelemahan Perempuan
Sebaliknya, perlu diingat bahwa perempuan juga memiliki kelemahan-kelemahan yang dapat menjadikan kegagalan berwirausaha. Penyebab kegagalan yang berasal dari dirinya antara alain, memanfaatkan kesempatanuntu kepentingan pribadi, tidak berani mengambil resiko, kurang percaya diri atau terlalu percaya diri, tidak bisa membagi waktu atas peran gandanya dalam keluarga dan bisnis, sibuk dengan urusan keluarga, dan konsumtif.
Alasan lain yang bersinggungan dengan faktor sosiologis yaitu, ketergantungan yang kuat terhadap suami. Yang perlu diperhatikan yakni adanya pemahaman mengenai persepsi gender anatara suami dan istri. Jika masing-masing memahami dan menjalankan perannya masing apalagi menyatukannya dalam sebuah kekuatan bisnis, peluang keberhasilan bisnis lebih terbuka lebar.
*diambil dari berbagai sumber.

13 Agustus 2010

Gender dan Kewirausahaan; Sebuah Pengantar di Kabupaten Kebumen

Semenjak krisis ekonomi 1998 hingga krisis keuangan global kegiatan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) mampu bertahan. Ekonom kerakyatan, pejuang reformasi, atau peneliti ekonomi dari Bank Dunia hampir bulat menyepakati bahwa usaha kecil dan menengah paling tahan terhadap guncangan krisis moneter. Mulyanto (2008) roda ekonomi Indonesia bisa bergerak sedikit demi sedikit karena keberadaannya. Oleh karena itu, menurut Radhi (2008) dalam sistem ekonomi kerakyatan, pengembangan industri pedesaan melalui usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) merupakan langkah strategic dalam pembangunan ekonomi bangsa.
Pengalaman di negara-negara maju menunjukan bahwa UKM adalah sumber dari inovasi produksi dan teknologi, pertumbuhan jumlah wirausahawan yang kreatif dan inovatif dan penciptaan tenaga kerja terampil dan fleksibel dalam proses produksi untuk menghadapi perubahan permintaan pasar yang cepat (Tambunan, 2002).
Menurut data Biro Pusat Statistik dan Kementerian Koperasi dan UKM tahun 2005, jumlah UKM di Indonesia mencapai 43,22 juta. Sektor UKM di Indonesia terbukti telah menyerap 79,6 juta tenaga kerja, mempunyai andil terhadap 19,94% nilai ekspor dan 55,67% Produk Domestik Bruto (PDB) (Nurul Indarti, 2007).
Dikaitkan dengan adanya otonomi daerah, masing-masing daerah didorong untuk memanfaatkan sumber daya lokal dalam meningkatkan daya saing produk-produk yang dihasilakan oleh UKM yang terdapat di daerah-daerah. Begitupun dengan kabupaten Kebumen yang masuk sepuluh besar kabupaten termiskin di pulau Jawa. Kabupaten Kebumen merupakan kabupaten yang terletak di pesisir Jawa bagian selatan. Jawa bagian Selatan sejak lama ditengarai sebagai daerah tertinggal, setidaknya bila dibandingkan dengan kawasan lain di Jawa. Begitupun dengan kabupaten Kebumen. Paling tidak terdapat tiga kabupaten di pesisir Jawa bagian selatan yang masuk rangking sepuluh kabupaten di Jawa dengan angka kemiskinan tertinggi yang salah satunya adalah kabupaten Kebumen, yakni 30,25% (lihat Prisma, 2010).
Tambunan (2002) dengan diberlakukannya otonomi daerah, UKM di daerah akan menghadapi suatu perubahan besar yang sangat berpengaruh terhadap iklim berusaha/persaingan di daerah. Perkembangan UKM menurut data dinas Perindagkop kabupaten Kebumen berjumlah 48.354 unit usaha yang bergerak di bidang industri sebesar 36.292 unit usaha dan sektor perdagangan dan jasa sebesar 12.062 unit usaha. Dari sektor usaha industri menengah berjumlah 8 unit usaha. Sedangkan usaha kecil sebanyak 1.182 unit usaha. Peran UKM terhadap penyerapan tenaga kerja di Kebumen mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 12.501 orang.
UKM di Kebumen merupakan industri yang masih tetap eksis karena kegiatan bidang ini tidak terpengaruh dengan adanya krisis. Hal ini dapat dilihat di beberapa sentra industri kecil masih tetap berproduksi seperti biasanya, dan bahkan diantaranya terdapat produk yang sangat meningkat bahkan pemasarannya eksport, yaitu anyaman pandan (lihat Fatoni, 2009). Pada tahun 2008 tercatat terdapat 1.192 unit UKM dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 12.700 tenaga kerja dengan nilai investasi yang tertanam sebesar 21,3 miliar.

Pada tahun 2010 prediksi jumlah industri besar dan menengah akan tetap. Sedangkan industri kecil dan rumah tangga belum dapat diprediksi. Pada tahun 2010 pengusaha besar diprediksi naik sebanyak 31 orang. Sedangkan pengusaha kecil diprediksi naik sejumlah 287 orang. Penambahan ini diprediksi dengan adanya pengajuan SIUP dagang kecil dan menengah masing-masing 287 dan 31 orang.
Keadaan ini menunjukan bahwa kabupaten kebumen mempunyai potensi pengembangan usaha kecil dan menengah. Namun terdapat beberapa masalah yang masih menjadi hambatan, yaitu lemahnya sarana dan prasarana pendukung pengembangan UKM yang belum selesai, rasio anggaran yang tersedia dengan jumlah UKM yang belum seimbang, lemahnya penguasaan manajemen, terbatasnya penguasaan pasar, lemahnya akses permodalan karena pada umumnya tidak memiliki agunan, dan lemahnya penguasaan teknologi (lihat Fatoni, 2009).
Gender kaitannya dalam UKM menurut Tambunan (2002) di Negara-negara berkembang/miskin, termasuk Indonesia, banyak perempuan melakukan kegiatan ekonomi di luar rumah seperti menjadi pedagang kecil, pemilik warung dan membantu suami mengelola usaha rumah tangga semata-mata untuk menambah pendapatan keluarga. Jumlah perempuan yang terlibat sebagai wirausaha di UKM, khususnya usaha kecil di Indonesia cukup signifikan, baik sebagai pemilik atau sebagai pimpinan usaha atau sebagai manajer bersama dalam suami.
Dalam Jurnal Pengkajian Koperasi dan UKM Nomor 1 Tahun I - 2006, perempuan berpotensi untuk melakukan berbagai kegiatan produktif yang menghasilkan dan dapat membantu ekonomi keluarga, dan lebih luas lagi ekonomi nasional. Perempuan sangat potensial dan memiliki kompetensi dalam pengembangan usaha kecil, menengah, maupun koperasi, baik perempuan tersebut sebagai pelaku bisnis, pengelola/pendamping, atau sebagai tenaga kerja. Tentu saja masih terus ditingkatkan kualitas dan profesionalismenya dengan peningkatan kemampuan dan keterampilannya. Apalagi, Tambunan, (2002) Indonesia berada pada tempat terdepan dalam kebijaksanaan pengarusutamaan gender. Upaya-upaya demi perbaikan peran dan status perempuan telah dicerminkan di Indonesia semenjak akhir abad yang lampau, dimulai dengan konggres perempuan Indonesia pertama tahun 1928.
Namun di kabupaten Kebumen, peran perempuan dalam kegiatan UKM dapat dikatakan belum berpartisipasi secara aktif. Menurut daftar perusahaan UKM yang terdaftar di dinas Perindustrian Perdagangan & Koperasi (Perindagkop) kabupaten Kebumen, porsi peran perempuan dalam pengelolaan dan kepemilikan UKM hanya sebesar 20%. Sedangkan sisanya 80% dimiliki dan dikelola oleh laki-laki dari total UKM yang terdaftar sebanyak 243 unit usaha. Dengan kata lain, potensi perempuan dalam melakukan perannya sebagai wirausaha di kabupaten Kebumen belum signifikan.
Sutini Suderajat, (2010) Peran perempuan dalam menjalankan UKM di Kebumen sekitar 20-30 persen dari jumlah seluruh UKM yang ada di Kebumen. Alasan perempuan melakukan kegiatan bisnis karena masih sebatas tanggung jawab pada kebutuhan keluarga. Motivasi perempuan dalam melakukan kegiatan bisnis lebih merupakan tekanan untuk menopang kebutuhan keluarga. Hal ini yang mengakibatkan tingkat kinerja bisnis yang dijalankan oleh perempuan masih rendah bila dibandingkan dengan bisnis yang dijalankan oleh kaum laki-laki. Dilihat dari kinerja usaha yang dimiliki-dikelola oleh perempuan dapat dikatakan tidak maksimal. Sebagian besar kinerja UKM yang dipunyai/dikelola oleh perempuan lebih rendah dari pada kinerja UKM yang dikelola oleh laki-laki.
Hal senada juga dijelaskan dalam rencana strategis dinas Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Masyarakat (KBPM) sebagai mitra dinas Disperindagkop kabupaten Kebumen dalam menjalankan program pemberdayaan perempuan di sektor UKM bahwa salah satu masalah dalam agenda pembangunan, penanggulangan kemiskinan, dan kesejahteraan sosial adalah ketidaksetaraan dan keadilan gender. Laki-laki dan perempuan memiliki pengalaman kemiskinan yang berbeda. Dampak yang diakibatkan oleh kemiskinan terhadap kehidupan laki-laki juga berbeda dengan perempuan. Sumber dari permasalahan kemiskinan perempuan terletak pada budaya patriarki yang bekerja melalui pendekatan, metodologi dan paradigma pembangunan. Sistem kebijakan pemerintahan telah meminggirkan perempuan melalui kebijakan, program dam lembaga yang tidak responsif gender.

Nilai Kewirausahaan dan Gender
Menurut Ritzer (2004) tampaknya tak terbantahkan bahwa gender seseorang – laki-laki atau perempuan – berbasis biologis. Orang dipandang sekedar menampilakan perilaku yang tumbuh dari tampilan biologis mereka. Jenis kelamin (sexiness) jelas merupakan capaian; orang butuh bertindak dan bicara dengan satu dan lain cara agar bisa terlihat “berjenis kelamin”. Najlah Nakiyah (2005) namun, istilah gender dipakai untuk pengertian jenis kelamin secara non-biologis, yaitu secara sosiologis dimana perempuan direkonstruksikan sebagai mahluk yang lemah lembut sedangkan laki-laki sebagai mahluk yang perkasa. Hal yang sama juga dijelaskan bahwa gender adalah perbedaan peran, perilaku, perangai laki-laki dan perempuan oleh budaya/masyarakat melalui interpretasi terhadap perbedaan biologis laki-laki dan perempuan. Jadi gender, tidak diperoleh sejak lahir tapi dikenal melalui proses belajar (sosialisasi) dari masa anak-anak hingga dewasa.
Perempuan dalam kemelut Gender, (2002) Setiap masyarakat mengembangkan identitas gender yang berbeda, tetapi kebanyakan masyarakat membedakan laki-laki dan perempuan dengan maskulin dan feminim. Maskulin identik dengan keperkasaan, bergelut di sektor publik, jantan, agresif. Sedangkan feminim identik dengan lemah lembut, berkutat di sektor domestik (rumah), pesolek, pasif, dan lemah. Fakih (1996) mengemukakan konsep gender yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa.
Najlah Nakiyah (2005), Perempuan adalah manusia yang mempunyai potensi untuk tumbuh dan berkembang. Sebagai manusia ia lahir dengan naluri untuk sukses dan terus maju dalam kehidupan yang ditempuhnya. Posisi perempuan yang selama ini menjadi nomor dua (women is second sex) akan mengebiri dan menindas perempuan. Secara sosiokultural, perempuan dibatasi oleh budaya patriarkat yang kukuh dan tidak mudah merobohkannya.
Najlah Nakiyah (2005) menjelaskan bahwa secara ideal, perempuan menginginkan keadilan dan persamaan peran pada segala dimensi kesehariannya, seperti politik, ekonomi, dan sosial. Harapan itu sepertinya hanya sebatas mimpi yang sulit diwujudkan. Pada dimensi sosial, perempuan sering kali tersubordinasi oleh realitas yang meminggirkan perannya di wilayah publik. Ketidaksetaraan muncul di permukaan masyarakat tatkala perempuan menikah dan harus mengerjakan pekerjaan domestik, serta pengabaikan peran publik. Bahkan pada kasus pernikahan dini, perempuan tidak memiliki kecakapan hidup (life skill) yang memadai untuk berperan aktif pada tataran relasi sosial. Banyaknya perempuan berpendidikan rendah menambah problem pengangguran kerja karena potensinya tenggelam oleh keterbatasan yang memasung kreativitasnya. Pasungan itu bisa diciptakan oleh dirinya atau muncul dari proteksi orang dekatnya. Seperti, Masochisme adalah bentuk menyakiti diri sendiri agar memperoleh kesenangan. Posisi perempuan menjadi tertekan dengan mengandalkan sifat cinta secara berlebihan dan mengorbankan banyak waktu untuk merenungi, merefleksi, dan melarutkan diri pada kesadaran pasif .
Budaya di masyarakat desa memandang perempuan sebagai orang kelas dua, maka prioritas utama pendidikan diberikan sepenuhnya kepada anak laki-laki untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Karakter masyarakat yang terpinggirkan akan mudah kehilangan semangat berjuang (unconsciousness motivation) untuk memperbaiki kualitas hidupnya (Najlah Nakiyah, 2005).
Mulyanto (2006) Dalam kehidupan masyarakat Asia Tenggara, perempuan adalah penguasa dapur. Artinya, perempuan menguasai pengelolaan keuangan, redistribusi pendapatan, dan alokasi konsumsi. Latar sosial-budaya inilah yang bisa menjawab pertanyaan mengenai hubungan perempuan dengan usaha kecil. Keterlibatan perempuan dalam usaha kecil didorong oleh beragam alasan. Djamal (2000) menemukan bahwa 80 persen perempuan yang disurveinya beralasan membantu suami dan rumah tangga. Sing, dkk., 2000 menemukan bahwa lebih dari 56 persen menyebutkan memperoleh pendapatan tambahan sebagai alasan memasuki usaha kecil, dan selebihnya menjawab ingin mandiri. Van Velzen, 1990 menyatakan Warisan dari orang tua juga alasan yang melatari keterlibatan perempuan (dikutip oleh Mulyanto, 2006).
Mulyanto (2006) mengatakan gender dan kegiatan usaha seringkali tidak bisa diabaikan keterkaitannya. Beberapa jenis usaha sangat beraroma gender. Tambunan (2006) menjelaskan ada perbedaan antara penguasaha perempuan dan pengusaha laki-laki, yang ditentukan terutama oleh budaya dan aspek-aspek yang menyentuh seperti penilaian sosial/masyarakat umum terhadap perempuan karier, beban rangkap (sebagai ibu rumah tangga dan pelaku bisnis) dan keterbatasan mobilitas.
Dari uraian diatas bahwa perempuan terhambat oleh struktur-struktur sosial dalam penciptaan dan pengelolaan bisnis mereka. Jelas, lingkungan budaya, ekonomi, dan sosial memiliki pengaruh pada nilai-nilai kewirausahaan antara pemilik-pengelola UKM yang kemudian berimplikasi pada kinerja usaha mereka.
Najlah Nakiyah (2005) namun, perempuan bisa saja berperan pada sektor kerja yang didominasi laki-laki, seperti berhubungan dengan mesin, kalau ia memang kapabel di dalam bidangnya. Seiring dengan nyanyian pembebasan yang tererus didengungkan dan ditabuhnya beduk persaingan yang sehat memerlukan upaya lebih serius dari perempuan.
Robbins (2007) dalam menjalankan bisnis, nilai mengandung unsur pertimbangan yang mengembangkan gagasan-gagasan seorang pribadi atau sosial lebih dipilih dibandingkan dengan bentuk perilaku atau atau bentuk akhir keberadaan perlawanan atau kebaikan. Nilai penting untuk dipelajari perilaku organisasi karena nilai menjadi dasar untuk memahami sikap dan motivasi serta karena nilai mempengaruhi persepsi kita.
Menurut Suhairi (2006) salah satu sumber yang unik yang dimiliki sebuah perusahaan skala kecil dan menengah adalah nilai kepribadian seseorang wirausaha, yakni nilai-nilai kepribadian yang melekat pada diri seseorang pemilik yang sekaligus juga pimpinan dari sebuah perusahaan. Pada umumnya nilai yang dianut dalam menjalankan bisnis adalah nilai-nilai kewirausahaan. Suryana, (2006) Kewirausahaan (enterpreneurship) adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kita, dan sumber daya untuk mencari peluang menuju sukses. Menurutnya, proses kreatif hanya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kepribadian kreatif dan inovatif, yaitu orang yang memiliki jiwa, sikap, dan perilaku kewirausahaan, dengan ciri-ciri; (1) penuh percaya diri, indikatornya adalah penuh keyakinan, optimis, berkomitmen, disiplin, bertanggung jawab; (2) memiliki inisyatif, indikatornya adalah penuh energi, cekatan dalam bertindak, dan aktif; (3) memiliki motif berprestasi, indikatornya terdiri atas orientasi pada hasil dan wawasan ke depan; (4) memiliki jiwa kepemimpinan, indikatornya adalah berani tampil beda, dapat dipercaya, dan tangguh dalam bertindak; (5) berani mengambil resiko dengan penuh perhitungan (oleh karena itu menyukai tantangan).
Sukirno (2006) menjelaskan definisi kewirausahaan dalam aspek psikologi, yakni sufat kewirausahaan dikaitkan dengan perilaku diri yang lebih cenderung kepada fokus dari dalam diri (dimana keberhasilan dicapai dari hasil kekuatan dan usaha sendiri, bukan karena faktor nasib). Ini termasuk sifat-sifat pribadi seperti tekun, rajin, inovatif, kreatif, dan semangat yang terus menerus berkembang untuk bersikap independen.
Budiretnowati (2008) berbagai hasil penelitian antara lain yang dilakukan oleh Departemen Koperasi dan UKM tahun 1996 menyebutkan bahwa kewirausahaan merupakan kunci dari keberhasilan UKM. Keberhasilan UKM sukses ternyata tidak hanya karena keahlian yang dimiliki, tetapi juga dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jiwa kewirausahaan dan kreativitas individual yang melahirkan inovasi.
Sukirno (2006) perusahaan kecil tidak dapat dipisahkan dengan kewirausahan. Kegiatan seorang wirausaha sering dikaitkan dengan perusahaan kecil, dan hal itu disebabkan karena ciri yang ada pada seorang wirausahawan yang dikatakan tidak dapat bekerja di dalam organisasi besar.
Afiah (2009) salah satu program peningkatan kapabilitas UKM yang sering dilaksanakan dalam rangka peningkatan kemampuan SDM adalah pengembangan kewirausahaan pengusaha UKM. Pengembangan kewirausahaan bertujuan untuk meningkatkan kemandirian usaha, kemampuan bisnis, dan jiwa kepemimpinan dalam sektor UKM, sehingga diharapkan dapat meningkatkan daya saing dan kualitas operasional UKM.
Hall dan Kelly, Haar dan Moini, (dikutip oleh Tambunan, 2002) menjelaskan sejumlah studi menemukan bahwa sikap, nilai, persepsi mengenai resiko, belajar terus menerus, keahlian manajerial, pemasaran dan dalam proses produksi (termasuk teknologi), ketersediaan sumber daya produksi (termasuk keuangan), penyesuaian terhadap struktur organisasi, dan ketersediaan informasi dan penggunaannya yang efektif, merupakan faktor-faktor internal yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap keberhasilan eksport.

19 Januari 2010

Intermediasi Bank Dalam Penyaluran KUR Belum Optimal


Sudah mafhum bagi pelaku usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) terhambat oleh berbagai persyaratan untuk mendapatkan kredit di bank. Apalagi semenjak adanya kebijakan manajemen risiko yang berkiblat kepada Basel II. Bank harus berpegang pada prinsip kehati-hatian dalam memberikan kucuran kreditnya kepada nasabah untuk menghindari risiko kreditnya.
Pelaku usaha UMKM umumnya tidak memenuhi standard untuk mendapatkan fasilitas kredit dari bank. Oleh karenanya pemerintah memberikan skema kebijakan fasilitas kredit bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) berupa fasilitas Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Setiap tahunnya pemerintah menyediakan dana 2 triliun untuk menambah modal penjamin KUR. Dengan modal yang dijaminkan oleh pemerintah diharapkan bank dapat menyalurkan kreditnya dengan aman kepada pelaku UMKM yang tidak lulus sensor.
Maksud dari pemerintah menyediakan dana 2 triliun adalah lebih menitikberatkan terhadap jaminan kredit atas kredit yang dikucurkan terhadap pelaku UMKM. Kredit merupakan pinjaman uang yang diberikan oleh pemberi kredit (bank, lembaga keuangan) kepada nasabahnya, yaitu pelaku UMKM. Apabila terjadi risiko bahwa pada waktunya nasabah tidak mampu memenuhi kewajibannya kepada pemberi kredit maka pemerintah sebenarnya sudah memberikan pertanggungan kepada tertanggung.
Sebenarnya tujuan dari pemberian jaminan tersebut lebih pada perlindungan resiko kredit terhadap pemberi kredit. Yaitu, resiko dari kemungkinan tidak diperolehnya kembali kredit yang diberikan kepada nasabahnya. Sehingga dengan jaminan tersebut kredit yang diberikan kepada pelaku UMKM memberikan keamanan tersendiri bagi bank itu sendiri.
Dengan adanya kebijakan pemerintah tersebut, bank akan terdorong untuk lebih giat membantu para pelaku usaha kecil dan menengah dalam menyediakan modalnya untuk melakukan usahanya.
Selain itu, pelaku UMKM akan lebih terjamin dalam mengajukan kredit untuk mengembangkan usahanya. Skema Penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) adalah skema Kredit/Pembiayaan yang khusus diperuntukkan bagi UMKM dan Koperasi yang usahanya layak namun tidak mempunyai agunan yang cukup sesuai persyaratan yang ditetapkan Perbankan. Tujuan akhir diluncurkan Program KUR adalah meningkatkan perekonomian, pengentasan kemiskinan dan penyerapan tenaga kerja.
Sampai tahun 2009, porsi nilai kredit UMKM menunjukan peningkatan dibandingkan dengan periode tahun 2008 yang hanya 47,61 persen. Data Bank Indonesia menyebutkan, posisi nilai kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di perbankan nasional per November 2009 mencapai Rp 724,81 triliun atau 51,34 persen dari total kredit perbankan senilai Rp 1.398 triliun. Artinya, kredit yang diberikan bank kepada pelaku UMKM meningkat sebesar 3.73 persen dari total nilai kredit sebesar sebesar Rp 1.398 triliun.

Penyaluran Kredit KUR Belum Optimal
Salah satu pendorong maraknya kredit UMKM adalah kredit usaha rakyat (KUR), yang diluncurkan sejak November 2007. Namun dalam prakteknya penyaluran kredit yang dilakukan bank bagi usaha rakyat tersebut dirasa belum optimal.
Menurut Direktur UMKM BRI yang dikutip dari media cetak bahwa jumlah KUR hingga akhir November 2009 mencapai Rp 12,03 triliun dengan jumlah nasabah 2,3 juta debitor. Dengan kata lain, porsi KUR sebesar 1,66 persen dari total kredit UMKM senilai Rp 724,81 triliun.
Jika diporsikan terhadap total nilai kredit yang digelontorkan terhadap total nilai kredit perbankan senilai Rp 1.398 triliun maka menunjukan angka 0,86 persen. Penggunaan fasilitas kredit usaha rakyat yang disalurkan oleh bank belum menunjukan optimalisasi. Fungsi intermediasi bank untuk menyalurkan KUR belum menujukan geliat yang maksimal atau jalan di tempat.
Hal ini juga bisa dihitung dengan jumlah debitor yang menggunakan fasilitas kredit KUR bahwa penggunaan fasilitas KUR masih sangat kecil dibandingkan dengan jumlah UMKM di Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik pelaku UMKM berjumlah 48,8 juta unit usaha. Dari jumlah itu, hanya 19,1 juta atau 39,06 persen yang telah mendapat kredit perbankan. Dari 48,8 juta UMKM, sekitar 90 persen adalah usaha mikro yang berbentuk usaha rumah tangga, pedagang kaki lima, dan berbagai jenis usaha mikro lain yang bersifat informal.
Dengan kata lain, kemungkinan yang sangat besar bahwa banyak usaha mikro informal yang belum menggunakan fasilitas KUR. Atau, fungsi bank yang ditunjuk untuk mengintermediasi KUR kepada UMKM  belum menjalankan fungsinya secara optimal.

* diambil dari berbagai sumber.

17 Januari 2010

Meneropong Sisi Lain Desa


Dalam perjalanan kita ke kota dalam waktu yang lama seringkali kita teringat akan alam tempat kita berasal. Sebuah jelajah yang akan membuat kita tersenyum dan berpikir ulang mengenai hidup kita saat ini. Alam yang akan mengisi kembali celah kosong relung-relung rindu, menyegarkan kembali buncah-buncah otak kita, dan me-reverse tindakan-tindakan kita baik dahulu maupun saat ini.

Desa tempat kita berasal dan tempat kita dibesarkan. Tempat yang memberikan bentuk diri  saat ini dan mengajarkan begitu banyak pelajaran sebagai bekal kita menjalani kehidupan. Sebuah ungkapan yang sering dilontarkan oleh Selo Soemarjdan dalam kajiannya dalam kehidupan warga desa. Warga desa begitu mengesankan dengan segala kesederhanannya dan keluguannya. Melihat hidup dari satu sisi keharmonisan. Harmonis karena hidup berdasarkan pada alam yang berdekatan dan orang yang selalu berdampingan.


Alam sebagai teman hidup, selalu memberikan kesenangan dan pelajaran. Kesenangan sehingga kita selalu menjaga alam desa kita dari kerusakan. Saat ini begitu banyak perubahan pada alam sekitar yang  disebabkan hadirnya teknologi dan kebutuhan manusia. Sungai tidak lagi mempunyai kedung karena sudah ditembok beton pinggir-pinggirnya, sawah sudah diganti dengan rumah. Begitu banyak perubahan yang terjadi dalam hidup kita yang belum sempat kita sadari.

Ditengah kesemerawutan modernitas, kapan kita menghadirkan kembali desa yang jujur, lugu, kesejukan, dan yang memberikan kita akan nilai sekaligus pelajaran?




Pangeran itu Bernama Ontowiryo

“Ingatlah selalu, Ontowiryo, untuk menjadi manusia yang bertanggung jawab sebagai khalifatullah, adalah tidak berhenti belajar, terus meningkatkan ilmu” begitu pesan Ratu Ageng sebelum mangkat kepada cucunya, Pangeran Diponegoro.


Sebagai manusia, kehidupan di dunia merupakan proses menuju Yang Esa. Dibekali oleh-Nya berupa hati, pikiran, dan akal inilah yang membedakan manusia dengan hewan. Dengan bekal itu, manusialah yang paling mampu atas amanah dari Tuhannya sebagai khalifah di muka bumi.

Oleh karenanya, dalam konteks keterjajahan dan ketertindasan atas Belanda beserta anjing-anjingnya yang tidak lain adalah bangsa sendiri yang membenalu, harus dilawan! Kewajiban setiap insan manusia untuk merubah Sejarah. Agar kita mempunyai arti bagi diri sendiri, bangsa dan tanah air serta pertanggungjawaban kita terhadap Tuhan yang Maha Kuasa.

Sebab bahwa hidup harus eling, adalah karunia. Tidak ada satu pun manusia yang dilahirkan oleh rahim ibunya, yang hidup tanpa rencana Tuhan, Allah SWT. Eling yang kedua, bersyukur karena hidup itu, dan tanggung jawab untuk menjaga hidup itu tidak sia-sia, supaya punya arti dan manfaat bagi dirinya sendiri menyangkut dengan ilahi, dan juga bagi diri masyarakat menyangkut hubungan kerakyatan dan kebangsaan serta tanah air yang dianugerahkan Tuhan.

Adalah Ontowiryo satu-satunya keturunan raja yang mampu menyibak tabir kepalsuan untuk bangkit melawan terhadap kebatilan yang melahirkan penindasan dan penjajahan. Ontowiryo yang tidak lain adalah Pangeran Diponegoro berijtihad, (dalam tradisi Islam) melawan kebatilan dan ketertindasan.

”Bagaimanapun dewan perwalian tidak boleh bertentangan dengan kebijakan Belanda.” Jelas Danurejo IV dalam rapat untuk penunjukan dewan perwalian Sri Sultan HB V yang masih balita.
”Ah, itu menghina harkat saya. Itu berarti sengaja menggadaikan kepala kita sebagai antek Belanda. Kalau sampeyan merasa itu benar, silakan saja. Tapi saya menolak.” tegas Ontowiryo.

Dan, sebagai bangsa yang merdeka, kita sendiri yang berkewajiban mengatur negara kita, tidak dibawah bayang-bayang bangsa Belanda atau bangsa manapun. Tidak ada penindasan satu bangsa kepada bangsa lain, termasuk bangsa sendiri terhadap bangsa sendiri. Sebab manusia diciptakan oleh Allah SWT, semuanaya bebas menentukan masa depannya, dan bebas pula melakukan hal-hal yang baik sesuai gatra suara nurani yang mukim dalam dirinya. [diambil dari Novel Pangeran Diponegoro Menuju Sosok Khalifah]

Mengintip Musik Dangdut

"... sulingnya suling bambu/gendangnya kulit lembu/dangdut suara gendang/rasa ingin berdendang....”
Begitulah syair lagu Rhoma Irama yang turut mempopulerkan musik dengan bunyi khasnya 'Ndang' dan 'Dut'. Adalah Rhoma yang mengenalkan terminologi ”dangdut” lewat syair lagunya yang berjudul Dangdut, sangat populer pada awal 1970-an. Dan sejak itu, tak bisa lain, musik yang merayu rasa ingin bergoyang ini bernama dangdut.

Musik dangdut tanpa tari (joget) dikatakan Inul Daratista, sayur tanpa garam alias hambar. Begitulah pesan si ratu ngebor. Memang penikmat dangdut sendiri pada kenyataannya seakan mengamini akan hal itu. Rasanya aneh dan ada yang kurang kalau mendengarkan musik dangdut tanpa joget.
Seolah musik dangdut dan joget adalah paket yang tidak boleh terpisahkan. Musik dangdut luruh dan merasuk dalam bentuk ekspresi tariannya (joget). Musik dan joget menjadikan nuansa dangdut semakin hidup. Apalagi ketika dalam panggung-panggung tontonan, si Penyanyi melantunkan lagu bagi penggemarnya komplit dengan goyangannya. Inilah yang menjadi semakin bergairahnya semarak musik dangdut. Terlihat sekali betapa khusuknya bagi mereka yang menghayati dan menikmati musik tersebut. Betapa tidak, saking asyiknya menikmati musik dangdut sambil berjoget, sampai-sampai mata mereka merem-melek. Artinya, Dangdut itu tidak bisa diungkapkan dan diukur dengan kata-kata. Dangdut itu pokoknya nikmat, komunikatif, dan menghibur (Camelia Malik).
Sebagai musik yang identik dengan goyang, tentu saja berbagai macam kreasi tarian pun muncul sebagai pelengkap musik ini. Mulai kalem hingga seronok bahkan erotis. ”Keberanian” goyangan dari dangdut membuat musik ini identik dengan seronok. Terlebih, ketika Inul memperkenalkan goyangan ngebornya. Disusul Uut Permatasari dengan goyang cor, dan Dewi Persik sang penggergaji. Namun, itu tidak semuanya betul. Banyak penyanyi dangdut pula yang tidak mempertontonkan ”keberanian” mereka ketika di atas panggung. Dengan begitu semua, eksistensi musik dangdut tumbuh dengan hibrid baru dari elemen yang mempengaruhinya, goyangan.

Sejarah yang Samar
Kapan sejatinya kemunculan musik dangdut, hingga saat ini masih menjadi perbincangan dan perdebatan. Namun, paling tidak bahwa musik dangdut merupakan proses panjang, bentuk hibrid dari elemen musik yang diambil dan mempengaruhinya. Seperti yang dikatakan oleh Susan Pipper dan Sawung Jabo (1987) bahwa musik dangdut hidup ditengah masyarakat Indonesia untuk berbagai masa.
Ketika pengaruh arab begitu kuatnya, musik ini terkenal dengan nama gambus. Kemudian, terdistorsi juga oleh orkestra melayu pada era Bukit Siguntang. Sekitar tahun 1950-an, ketika film-film India digandrungi di Indonesia, Ellya Khadam mempopulerkannya lewat lagu ”Boneka Dari India”.
Pada perkembangan selanjutnya, Rhoma Irama merekayasa sebuah kreasi aliran musik baru ”dangdut” dengan memasukkan warna musik rock. Yang kemudian dilanjutkan dengan warna musik dangdut yang lebih melancholy, mellow, dan klasik. Sekitar tahun 1990-an dangdut terdistorsi aliran musik dengan penambahan warna musik disko remik. Sampai akhirnya dari berbagai tontonan kita mengenal adanya musik dangdut koplo hingga kini.

Keterbukaan dan Konsistensi
Dibandingkan dengan aliran musik lainnya, dangdut jauh lebih kosmopolit dan terbuka dari yang diduga. Dangdut tidak memilih proteksi dan kejumudan. Menghadapi aliran-aliran musik lainnya, dangdut tidak sibuk melindungi diri. Justru, dangdut sendiri terus (berkreasi) berkembang dan malah menampung dan merangkul eksistensi dari aliran-aliran musik yang ada.
Barangkali kompleksitas musik warna dangdut lebih kaya dari pada aliran musik yang ada. Tak heran, jika kreasi dangdut terus berkembang dengan warna dan wajah yang segar dan berbeda. Sejalan dengan berkembangnya dangdut itu sendiri yang terus terdistorsi oleh zamannya, karakter bunyi 'Ndang' dan 'Dut' tetap melekat sebagai simbol konsistensi dangdut.

"... sulingnya suling bambu/gendangnya kulit lembu/dangdut suara gendang/rasa ingin berdendang....”

14 Januari 2010

Kaum Muda; Sumber Daya Kompetitif Daerah

Nuansa perhelatan akbar pemilihan langsung bupati kabupaten Kebumen mulai menghangat. Poster-poster para bakal calon bupati mulai terpampang diberbagai sudut tempat-tempat strategis. Desas-desus dan rumor pencalonan para bakal calon sudah mulai masuk ke telinga-telinga masyarakat. Bahkan para bakal calon yang positif menjagokan diri dalam bursa pencalonan bupati sudah melakukan strategi-strategi kampanyenya. Bahkan secara khusus salah satu bakal calon bupati menciptakan lagu yang sengaja diputar di radio-radio di wilayah Kebumen. Facebook-pun tak lepas sebagai media sosialisasi bakal calon.

Menurut beberapa sumber informasi untuk menjalankan perhelatan akbar tersebut, Pemkab Kebumen telah mengalokasikan anggaran yang terhitung tidak sedikit untuk pelaksanaan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati (Pilbup) Kebumen tahun 2010. Sekurang-kurangnya pemerintah kabupaten telah menganggarkan dana sebesar Rp 21,8 M. Dari dana sebanyak itu KPU akan mengelola Anggaran sebesar Rp 17 miliar dengan asumsi Pilbup sampai dua putaran. Panwaslu Kabupaten Kebumen Rp 3 miliar, Badan Kesbangpolinmas Rp 1,122 miliar, dan sisanya dikelola Bagian Tata Pemerintahan dan Otonomi dan Sekretariat DPRD Kebumen (Wawasan).

Bukan menjadi perkara yang murah untuk melangsungkan perhelatan perebutan kursi Kebumen I dan II. Seyogyanya, warga masyarakat yang peduli terhadap proses pembangunan daerah harus tetap cerdas dan rasional dalam melakukan pilihan-pilihan untuk peduli terhadap pembangunan daerah. Dan pemilihan bupati dan wakil bupati merupakan salah satu proses ikhtiar melakukan proses pembangunan daerah. Pemilihan bupati dan wakil bupati hendaknya dilakukan secara efektif dan efisien dalam bingkai demokratisasi yang sehat dengan mempertimbangkan aspek-aspek jangka panjang.

Secara umum, paradigma pemilihan kepala daerah tingkat II masih dianggap sebagai perebutan kekuasaan yang sifatnya jangka pendek. Aspek-aspek jangka panjang masih belum teragendakan dalam proses pemilihan langusung para kepala daerah. Pengembangan sumber daya manusia khususnya kaum muda merupakan agenda jangka panjang yang tidak boleh dilupakan. Sampai saat ini, pembangunan daerah di sektor sumber daya manusia kaum muda masih tersisihkan. Proses pengkaderan yang mengikutsertakan dalam proses perhelatan pemilihan langsung pemimpin daerah belum dilakukan secara maksimal. Hal ini karena perilaku baik dari partai politik pengusung calon pemimpin daerah dan pemerintah kabupaten masih sangat kuat dengan sikap status quo golongan tua. Kaum muda masih belum diberikan arena untuk proses pengambilan resiko.

Peluang Otonomi Daerah
Pasal 1 ayat 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjelaskan bahwa Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan otonomi tersebut pemerintah daerah dapat membantu dalam mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melaui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demikrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan suatu daerah dalam bingkai NKRI. Daerah tingkat II merupakan basis kebijakan yang riil dan langsung dirasakan oleh rakyat. Dengan demikian daerah tingkat II akan lebih fokus dalam menyelesaikan pekerjaan rumahnya.

Bagi daerah yang visioner, otonomi daerah merupakan peluang dan kesempatan untuk lebih berdikari dalam membangun daerahnya dengan optimal. Pada prinsipnya otonomi daerah adalah otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Pemerintah daerah mempunyai peluang untuk lebih berkonsentrasi mengurusi kerumahtanggaan daerahnya. Kesempatannya, pemda akan mengolah keunggulan dan potensi yang dimiliki setiap daerah. Sehingga, dalam bingkai NKRI akan terlihat majememuk.

Jangka panjang, kaum muda sebagai bagian dari potensi sumber daya manusia daerah merupakan kekuatan dan keunggulan kompetitif daerah dalam membangun daerah. Semua sepakat bahwa sumber daya manusia khususnya kaum muda merupakan kunci menuju keunggulan yang kompetitif daerah. Kaum muda pada umunya mempunyai potensi psikologis semangat yang luar biasa. Namun kadang psikologis semangat tersebut masih dipandang sebelah mata. Seharusnya hal tersebut menjadikan apresiasi tersendiri sebagai modal pembangunan daerah. Sebab, banyak kaum muda harus meninggalkan daerahnya karena ketidakadaan arena dalam melakukan kreatifitasnya.

Adalah pilihan yang rasional ketika pemuda desa harus kabur ke kota untuk mencari arena dalam melakukan pencarian hidup. Sebab, daerah tidak mampu menyediakan ruang gerak bagi kaum muda dalam mengekspresikan potensi yang dimilikinya. Dengan kata lain, daerah harus mampu menyediakan ruang gerak dan fungsi pengkaderan bagi kaum muda.

Mengingat bahwa pemilihan kepala daerah tingkat kabupaten akan segera dilaksanakan. Oleh karenanya, terkait dengan hal tersebut seyogyanya menjadi strategis ketika memperhitungkan kekuatan dan kemampuan kaum muda sebagai sumber daya manusia yang kompetitif.

11 Januari 2010

AFTA plus China dan Nasib Buruh

Perdagangan bebas tampaknya menjadi kebutuhan bagi negara-negara di dunia. Artinya, tiap negara berkeinginan membuka diri terhadap arus lalu lintas barang dan jasa internasional. Hanya saja, persoalan terletak pada waktu pelaksanaannya. Sebab, negara yang belum siap bersaing, pasti akan dirugikan. Hal inilah yang menimbulkan kontroversi ditengah memburuknya kndisi perekonomian Nasional. Hal itu juga terjadi pada kondisi buruh Indonesia yang samapai saat ini belum menemukan jalan keluar untuk menghadapi tantangan pasar bebas.
Semenjak diberlakukannya keputusan perdagangan bebas di wilayah Asean plus China, 10 Januari 2010, membuat para buruh menjadi resah. Aksi turun ke jalan yang dimotori oleh banyak serikat pekerja menuntut dibatalkannya AFTA plus China tidak terelakan lagi. Aksi turun ke jalan merupakan bentuk penolakan terhadap AFTA plus China. Adalah pilihan yang logis ketika para buruh melakukan penolakan atas diberlakukannya perdagangan bebas. Sebab diberlakukannya AFTA plus China secara langsung akan mengancam nasib buruh Indonesia.
Secara sederhana masalah ekonomi adalah persoalan produksi, distribusi, dan konsumsi. Buruh merupakan faktor produksi untuk menghasilkan sebuah produk barang dan jasa. Ketika produk/jasa domestik dalam pasar tidak mamapu bersaing dengan produk Dhina maka hal ini akan mengancam kedudukan buruh sebagai faktor produksi.
Kaitannya, AFTA merupakan bentuk skema dimana dapat melakuan perdagangan bebas dalam suatu area/wilayah, yaitu ASEAN plus China. Skema mewujudkan AFTA plus China melalui: penurunan tarif hingga menjadi 0-5%, penghapusan pembatasan kuantitatif dan hambatan-hambatan non tarif lainnya. Oleh karena itu, hubungannya dengan AFTA bahwa Indonesia merupakan salah satu tujuan dari pasar itu sendiri. Sudah mafhum produk-produk China menawarkan dengan harga yang murah.
Salah satu ancaman AFTA plus China adalah membanjirnya produk-produk China. Produk-produk China yang masuk ke Indonesia dengan harga yang sangat murah. Tentu saja konsumen akan memilih produk-produk yang murah meskipun dengan kualitas yang sedang. Namun dalam jangka panjang justeru akan mengancam keberadaan buruh dalam negeri.
Lalu bagaimanakah dengan pangsa pasar yang sudah ada di Indonesia? bergabungnya China dalam perdagangan bebas ASEAN justru akan merontokkan sektor industri dan mengancam bertambahnya angka pengangguran di dalam negeri. Kondisi seperti ini juga akan merontokan produk-produk domestik yang dibuat oleh para buruh Indonesia. Konsekuensinya akan berimbas pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Sebab, produk-produk yang dihasilkan oleh para buruh nasional tidak mampu bersaing di pasar. Ketidakmampuan dalam persaingan tersebut berdampak pada produk yang dibuat oleh para buruh dalam negeri mau tidak mau harus gulung tikar.

Buruh China dan Buruh Indonesia
Dengan disepakatinya AFTA plus China kesejahteraan buruh dalam negeri akan terlihat sangat mengerikan. Bagi perusahaan industri yang beroperasi di Indonesia akan sangat sulit untuk menentukan dan mencari surplus atau keuntungan. Jurus pamungkas untuk mendapatkan surplus tersebut tidak lain dengan menurunkan tingkat kesejahteraan para buruh.
Dengan diberlakukannya AFTA plus China akan sangat mungkin Upah Minimum Regional (UMR) dan (Kondisi Hidup Layak) KHL hanya akan menjadi catatan yang tidak berguna. Mengingat bahwa kondisi ketenagakerjaan saat ini sudah berhadapan vis a vis dengan pasar bebas. Seorang calon tenaga kerja akan melakukan apa saja demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu tingkat pengangguran sangat tinggi sekali.
Berbeda dengan nasib buruh di negeri China. Jika kita membandingkan antara buruh dalam negeri dengan China akan sangat berbeda. Nasib buruh dalam negeri tidak begitu diurusi/diperhatikan tingkat kelayakan hidup oleh pemerintah. Apalagi soal kesejahteraan buruh. Pemerintah hanya memberikan kebijakan yang hanya bersifat kauntitaif saja. Bahwa tingkat kelayakan hidup dan kesejahteraan hanya bisa diukur dengan penetapan-penetapan kauntitatif seperti UMR dan KHL.
Pemerintah China sangat konsen dengan nasib kesejahteraan buruhnya. Memang secara kuantitas imbalan yang diterima oleh buruh China sangat murah. Namun, kebutuhan-kebutuhan dasar sebagai buruh dan warga negara telah terpenuhi. Apabila dibandingkan pada tingkat imbalan yang diberikan kepada buruh China dan Indonesia, misalnya, Rp 1.000.000,00. Maka secara kuantitas jumlahnya sama. Namun secara kualitas tingkat kesejahteraan yang diterima akan menunjukan nilai berbeda.
Kualitas kesejahteraan tersebut bisa dilihat dari variabel pengeluaran yang dilakukan buruh China dan buruh Indonesia. Tingakat pengeluaran buruh China lebih sedikit dari pada buruh Indonesia. Pemerintah China menjamin kesejahteraan buruhnya dengan membebaskan biaya untuk pengeluaran tertentu misalnya transportasi, Pendidikan, dll.
Menurut survei buruh Indonesia harus mengeluarkan 30% dari imbalan yang diterimanya untuk biaya transportasi. Sisanya, sebanyak 70% untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari, biaya pendidikan, dan rekreasi.
Hal ini berbeda dengan nasib buruh di China. Pemerintah China sangat konsen untuk mendukung tingkat kesejahteraan buruh sebagai faktor produksi industrinya. Pemerintah telah menyediakan sistem infrastruktur yang mendukung kenyamanan dan kesejahteraan bagi para buruh. Sistem transportasi publik yang gratis bagi buruh. Begitupun dengan biaya pendidikan yang diberlakukan secara gratis.
Dengan kata lain, imbalan yang diterima oleh buruh China dan Indonesia secara kualitatif mempunyai nilai yang berbeda. Buruh Indonesia harus menghitung kembali agar imbalan Rp 1.000.000 digunakan untuk berbagai macam pengeluaran. Sedangkan Buruh China hanya akan melakukan pengeluaran dari imbalan yang diterimanya untuk biaya konsumsi sehari-hari saja.