25 Desember 2009

Kesejahteraan Buruh, Masih Terpinggirkan

Ekonom-ekonom mainstream (arus utama) di Indonesia terlebih pendukung pemerintah sangat percaya diri ketika menjelaskan kemantapan kondisi perekonomian secara makro di Indonesia. Misalnya saja, dalam pemberitaan di media masa bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukan peningkatan yang mantap. Sedangkan variable yang memang secara riil dirasakan oleh masyarakat diabaikan. Pemerintah hanya menghitung dan memberikan informasi yang tidak seimbang.
Akan tetapi dalam kondisi riilnya, masyarakat merasakan kondisi yang sangat berbeda dari apa yang banyak dijelaskan oleh para ekonom-ekonom pemerintah, terutama pada tingakt kesejahteraan Banyak ulasan yang bernada positif mengenai kondisi perekonomian Indonesia, sementara masyarakat/rakyat merasakan hidup dengan kesulitan ekonomi yang tidak berkesudahan. Kampanye pemerintah untuk menjaga kesehatan memang harus diperhatikan, dikritisi. Sebab, bukan soal sakitnya namun biaya super mahal yang harus ditanggung oleh warga yang tidak sejahtera. Bahkan untuk pergi ke rumah sakit harus betul-betul meraskan sakit.
Secara khusus kita bisa melihat potret tingkat kesejahteraan buruh. Dari mulai ditemukan teori pertentangan kelas oleh Karl Marx, buruh atau pekerja selalu disudutkan pada pertentangan-pertentangan terhadap kelas borjuis. Pertentangan-pertentangan kelas hingga saat ini masih menjadi momok yang tidak berujung. Kelas buruh selalu menjadi korban di dalam kerangkeng struktur sosial dan ekonomi kapitalisme.
Dalam struktur sosial ekonomi pemerintah bertugas menjadi wasit di arena pertandingan antara pekerja dan pengusaha. Kebijakan-kebijakan yang ditelorkan oleh pemerintah merupakan bentuk keputusan yang adil bagi pekerja/buruh dan pengusaha. Namun, terkadang kebijakan-kebijakan pemerintah berimplikasi tidak adil bagi buruh/pekerja. Ketidakadilan yang secara material dapat dihitung anatara lain dengan kesejahteraan material.

Kesejahteraan Riil Buruh
Upah Minimum merupakan bentuk keputusan yang diberikan kepada buruh sebagai bentuk imbalan minimum yang harus diberikan oleh pengusaha. Tujuan upah minimum salah satunya adalah meningkatkan daya beli masyarakat, yang pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi secara umum.
Ironis, ketika kita melihat data upah untuk mendorong pertumbuhan ternyata bertolak belakang. Tujuan dari upah minimum sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi hanya sekedar wacana dan belum terlaksana hingga kini. Logika upah sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi yang dibangun pemerintah tebantahkan dengan adanya upah yang masih dibawah Kondisi hidup layak.
Dari data Direktorat Pengupahan dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja tahun 2009 diperoleh bahwa Prosentase Upah Minimum terhadap Kondisi Hidup Layak (KHL) sebesar 84.91%. Dengan rata-rata Upah Minimum Propinsi (HMP) di Indonesia sebesar Rp 841.530 dengan dirata-ratakan maka KHL di Indonesia sebesar Rp 1.010.355 per propinsi.
KHL Upah Minimum ditentukan atas dasar Kebutuhan Hidup Layak (KHL), Indeks Harga Konsumen (IHK), produktivitas dan kemampuan perusahaan, pasar kerja, dan tingkat perkembangan ekonomi. Ukuran setiap kesejahteraan mempunyai metode pengukuran atau kriteria sendiri-sendiri. Misalnya, menurut bank Bunia bahwa seseorang dikatan sejahtera jika telah mengeluarkan pengeluaran untuk konsumsi sebesar 2 dollar atau sekita Rp. 19.000 (1 USD=Rp9.500). Artinya, untuk 1 bulan harus mengeluarkan untuk konsumsi sebesar Rp 570.000. Terdapat juga yang menggunakan ukuran jumlah beras yang harus dikonsumsi. Pekerja Lajang seberat 12.6 Kg beras, Keluarga 2 anak (K2) seberat 37.5 Kg beras, dan Keluarga dengan 3 anak (K3) seberat 45 kg beras. Terdapat juga yang menggunakan metode dengan ukuran 3.000 kilo kalori yang harus dikonsumsi.
Sesuai data yang disajikan oleh Direktorat Pengupahan dan Jaminan Sosial Tenaga kerja tahun 2009, penetapan UMP Jawa Tengah sebesar 575.000 perbulan. Sedangkan Kondisi Hidup Layak (KHL) yang harus dipenuhi untuk hidup di Jawa Tengah, jika dipukul rata adalah Rp 793.700 perbulan.
Dari angka tersebut bisa disimpulkan sementara bahwa buruh secara umum belum bisa merasakan hidup yang layak. Jika dihitung secara presentase, sebesar 72.45% yang baru dipenuhi untuk hidup secara layak. Diproyeksikan bahwa kondisi tersebut akan hampir sama ditahun mendatang. Untuk 2010 saja usulan UMK yang sudah disetujui kepala daerah akan diusulkan ke gubernur belum bisa 100 persen dari kebutuhan hidup layak (KHL).

Kondisi yang menjelaskan belum terpenuhinya hidup layak buruh sebagai bentuk ukuran kesejahteraan yang paling minimum, mempunyai nasib yang sama dengan propinsi-propinsi lainnya. Kebijakan-kebijakan pemerintah pusat maupun propinsi belum mampu memberikan dampak yang signifikan terhadap kesejahteraan buruh. Pemerintah masih menganggap bahwa proses penciptaan kesejahteraan sebatas teknis dan kuantitatif. Hendaknya harus dipikirkan pula secara strategis bagaimana kemudian pemerintah menciptakan kebijakan ekonomi, misalnya, yang secara fundamental mempengaruhi kesejahteraan buruh atau pekerja.
Secara metodologis, hal senada mengenai tingkat kesejahteraan yang belum dinikmati oleh buruh yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia, dibuktikan dan diamini dengan banyak survei yang dilakukan lembaga-lembaga penelitian sosial, ekonomi, dan politik. Bahwa Menteri Sosial dan Menteri Tenaga Kerja dan Tansmigrasi dianggap belum optimal bekerja.

Kadaulatan Buruh
Menyempurnakan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja tidak serta merta hanya termotivasi akan material saja. Secara internal, kemampuan dan skill pekerja buruh harus mumpuni ketika menghadapi pekerjaannya. Peranan pendidikan dan pelatihan kerja memiliki arti penting dalam memenuhi tuntutan kebutuhan tenaga terampil dalam berbagai jenis pekerjaan. Tuntutan akan kualitas tenaga kerja menjadi semakin mendesak. Peran dan fungsi pendidikan dan pelatihan kerja berbasis kompetensi (competency based training) menjadi langkah penting dan strategis untuk terus menerus diupayakan dan dikembangkan. Dengan dikembangkannya pendidikan dan pelatihan kerja berbasis kompetensi, maka lulusan/tamatan pendidikan dan pelatihan kerja dapat mengikuti uji kompetensi dalam rangka mendapatkan sertifikasi kompetensi dapat menjadikannya sebagai daya tawar tersendiri terhadap pengusaha.
Yang menjadi momok dan berdampak pada lemahnya daya tawar tenga kerja/buruh Indonesia dalam dunia kerja adalah persoalah keahlian yang dimiliki pekerja belum mumpuni. Seolah yang dibutuhkan bukan lagi pekerja dengan keahliannya namun yang dibutuhkan lebih pada pekerjaan itu sendiri untuk menggeser status pengangguran. Kondisi ini justru akan memperparah pekerja itu sendiri. Sebab, pengusaha akan lebih mempunyai kesewenangan-wenangan dalam hubungan kerja. Dengan demikian ketahanan pekerja dalam rangka menciptakan kedaulatan pekerja akan menjadi lemah.
Variabel lainnya yaitu, sejak reformasi, euphoria demokrasi semakin tak terkendali. Kebebasan berkumpul dan berorganisasi dijamin oleh undang-undang. Perjuangan kaum buruh dalam rangka untuk mendapatkan hak mereka masih menjadi komoditas kampanye elite politik. Namun, politisasi buruh belum berimplikasi langsung pada perbaikan kesejahteraan buruh. Suara buruh selalu diperebutkan dalam setiap pemilu. Setidaknya terdapat 37 juta buruh sektor formal.
Selain itu, para elite buruh acapkali sengaja melibatkan diri dalam politik praktis. Kondisi ini melemahkan gerakan buruh dan menggerus soliditas buruh. Misalnya, Kasus Mengenai bagaimana harus bersikap terhadap Pemilu 2009, pandangan buruh dan serikat buruh terbelah. 3 Konfederasi seperti KSPSI, KSPI dan KSBSI, 20 Federasi serikat pekerja dan 7 organisasi pemerhati buruh, menyerukan kepada semua buruh untuk menggunakan hak pilihnya di Pemilu Legislatif pada April 2009 mendatang. Mereka berharap agar caleg yang dipilih adalah para kader-kader serikat pekerja dan aktivis buruh di partai politik mana pun. Sekadar informasi, beberapa serikat pekerja atau aktivis buruh memang sudah terikat ‘kontrak’ dengan partai politik. Sedangkan dalam Pemilu untuk memilih Presiden/Wakil Presiden, serikat pekerja akan melaksanakan kongres pekerja untuk menetapkan pilihannya. Kandidat yang dipilih tentu yang memiliki visi dan misi bagi peningkatan kesejahteraan buruh.
Sementara seruan untuk ‘golput’ alias tak menggunakan hak pilih di Pemilu 2009, datang dari Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI). Kondisi hasil pemilu sebagai kegitan politik hanya menghasilkan janji-janji kosong yang tidak pernah ditepati dan mengecewakan.
Semestinya serikat pekerja mampu memposisikan dirinya sebagai kekuatan politik yang konsisten dalam menjabarkan berbagai rencana mereka soal ketenagakerjaan. Sehingga serikat pekerja tidak hanya sebagai objek dan komoditas tarik-menarik diantara kepentingan politik.
Hal yang bisa diandalkan oleh aktivis dan serikat pekerja sampai sejauh ini adalah peran individu dalam perubahan sosial. Tak jarang dan menjadi keharusan meningkat menjadi kumpulan individu yang terorganisir, sebuah komponen masyarakat, yang memotori perubahan dalam hal tertentu. Dan dalam beberapa kasus, pekerja dan serikat pekerja ini harus berhasil mendapatkan dukungan atau partisipasi dari masyarakat yang lebih luas.
Dalam konteks ini, eksplorasi nilai-nilai normatif sering kali menjadi langkah efektif. Tema-tema peradaban, kemanusiaan, nilai-nilai agama, dan nilai-nilai luhur lain yang universal harus dimunculkan kembali yang lebih massif (Awalil Rizky, 2007).
Sebagai serikat pekerja yang menjadikan sebuah gerakan hendaknya bisa mengembangkan kerja sama dan aliansi. Sangat mungkin dikembangkan aliansi strategis dan taktis atas dasar pemahaman ketenagakerjaan. Untuk beberapa komponen, bahkan bisa dibangun aliansi idealis, dimana terdapat banyak kesamaan mengenai idealita dan kedaulatan buruh/pekerja yang diperjuangkan untuk terwujud. Semoga.

*diambil dari berbagai sumber

11 Oktober 2009

Miris; K3 Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri

Setiap pekerjaan yang dilakukan oleh Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri mempunyai potensi resiko yang tidak kecil dan berbahaya. Potensi resiko tersebut mengakibatkan TKI meninggal, mengidap penyakit kronis, cacat permanen total maupun sebagian, hingga tidak mampu untuk bekarja lagi. Banyak kasus-kasus TKI yang mustinya menjadi perhatian oleh pemerintah. Di setiap pemberitaan media massa mengenai TKI hanyalah persoalan mengenai kitidakadaannya jaminan atas Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3).
Misalnya, di Kabupaten Jember, Jawa Timur, sebagian mantan TKI positif terjangkit HIV/AIDS. Sebagian besar mereka tertular saat bekerja menjadi TKI di luar negeri, kemudian pulang ke Indonesia sudah terinfeksi dan positif HIV/AIDS. (Kompas, 11/10). Setiap tahun terdapat 15 tenaga kerja Indonesia meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas di Malaysia, Johor.
Selama tahun 2004 sampai 2009 saja terdapat kasus kekerasan terhadap TKI, antara lain kasus Nirmala Bonet yang melarikan diri karena tidak kuat atas penyiksaan yang dilakukan majikannya sehingga ia mengalami kecacatan permanen. Hal serupa juga dialami oleh Ceriyati dan Parsiti yang merupakan TKI asal Brebes dan Wonosobo, Jawa Tengah. Lebih parah lagi yang dialami oleh Kurniasih (Demak, Jawa Tengah) yang terpaksa harus meninggal dunia karena tidak tahan mendapat siksaan dari majikannya. Kasus kekerasan juga dialami oleh Fiktoria Usnaat, Siti Fatonah, Siti Hajar, Modesta Rengga Kaka. Dan, masih banyak lagi seabreg kasus mengenai ketidakadaannya jaminan Kesehatan dan Keselamatan Kerja para TKI.
Meskipun mengandung banyak resiko yang berbahaya, tidak sedikit tenaga kerja Indonesia mendambakan untuk bekerja di luar negeri. Arus migrasi tenaga kerja Indonesia ke luar negeri semakin hari semakin besar jumlahnya. Karena beberapa alasan, salah satunya, yaitu tingkat upah riil yang diberikan lebih tinggi dari pada tingkat upah dalam negeri. Di Indonesia, beberapa tahun terakhir upah riil yang diberikan kepada buruh sangat jauh dari Kondisi Hidup Layak (KHL). Pemerintah lebih suka mengamankan pertumbuhan dan stabilitas ekonomi makro.
Kedua, tingkat kesejahteraan dan tingkat upah dalam negeri tidak menjanjikan. Artinya harapan hidup sebagai buruh di Indonesia tidak cukup untuk memenuhi hidup layak. Hal ini bisa dideskripsikan dengan kondisi ketidaksejahteraan atau kemiskinan di Indonesia. Jika menggunakan ukuran 2 dollar sebagai tolak ukur kesejahteraan maka jumlah kemiskinan di Indonesia sebesar 49% dari jumlah penduduk Indonesia (Bank Dunia, 2007).
Ketiga, masalah ketenagakerjaan khusunya mengenai kesempatan kerja dalam negeri. Perbandingan pengangguran dan kesempatan tidak seimbang. Secara makro ekonomi, jumlah angka yang menganggur masih sangat besar. Di tahun 2006 sebanyak 10 juta orang menganggur atau 9,1% dari seluruh jumlah angkatan kerja. Artinya, harapan untuk mendapatkan pekerjaan di dalam negeri sangat sulit.
Meskipun mempunyai potensi resiko yang berbahaya, banyak tenaga kerja Indonesia yang lari keluar negeri untuk mengadu dan merubah nasib yang lebih baik. Bahkan dengan alasan tertentu, tenaga kerja Indonesia terpaksa dengan cara-cara yang ilegal.

Pemerintah Cuci Tangan
Pemerintah sangat mendorong tenaga kerja Indonesia untuk bekerja di luar negeri. TKI diharapkan mampu memberikan pendapatan terhadap negara. Secara teknis, support pemerintah terhadap TKI, antara lain melaksanakan reformasi birokrasi. Pelayanan birokrasi kepada TKI di Malaysia, dengan lebih cepat. Pengurusan paspor di Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur bagi TKI, misalnya, dari 41 hari kini dipangkas jadi hanya 3 jam. Penyediaan terminal khusus untuk TKI di Bandar Udara Soekarno-Hatta. Dan berbagai support teknis lainnya.
Namun, dipihak lain ketika pemerintah dihadapkan pada persoalan-persoalan mengenai Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), seolah-olah cuci tangan. TKI hanya sebatas komoditas ekonomi untuk mendapatkan pendapatan bagi negara. Bisa dikatakan jumlah devisa yang disumbangkan tenaga kerja Indonesia TKI pada tahun 2008 sebesar Rp 130 triliun atau 13 miliar dollar AS.
Habis manis sepah dibuang. Mungkin begitulah gambaran kita terhadap pemerintah Indonesia mengenai TKI di luar negeri. Dan, TKI di luar negeri sebagai pahlwan devisa adalah mitos.

10 Oktober 2009

On The Right Track; Partai Golkar

Semenjak Akbar Tanjung menyelamatkan partai Golkar dari badai keruntuhan ternyata para kader partai Golkar belum mampu melakukan terobosan politik yang lebih mutakhir dalam mewarnai proses demokratisasi hingga sekarang. Kondisi ini menyangatkan kepada kita bahwa partai Golkar belum selesai bahkan berjalan ditempat dalam melakukan terobosan-terobosan politik.
Golkar belum mampu melakukan terobosan politik yang lebih mutakhir. Dengan terpilihnya Aburuzal Bakri pada munas VII di Pekanbaru, arah kebijakan partai dengan jelas bisa ditebak bahwa Golkar merupakan partai yang rasional dalam menentukan pilihan politiknya, yaitu bergabung dengan kekuasaan, status quo. Salah satu faktornya adalah masih kuatnya budaya Golkar versi orde baru yang masih dianut oleh Golkar versi reformasi. Partai Golkar terbiasa dengan ketergantungan dengan kekuasaan status quo.
Terlebih, terpilihnya Ical panggilan Aburuzal Bakri menjadi PG 1. Pasalnya, semenjak pemilihan eksekutif Ical sangat getol untuk mendukung sacara financial terhadap pasangan SBY-Budiono. Dipastikan 100% gerbong partai Golkar yang dinahkodai Ical bakal bergabung dengan kubu status quo. Sudah dapat dipastikan bahwa selama lima tahun ke depan Golkar bakal duduk manis berdampingan dengan kekuatan status quo.
Kemenangan Aburizal Bakri dalam munas Golkar VIII di pekan baru merupakan kondisi nyata dari proses demokrasi yang sah dengan berbagai sistem dan aturan main yang ada. Namun ada beberapa hal yang memperihatinkan. Secara khusus, santernya isu money politics yang terjadi di munas justeru menciderai demokrastisasi partai Golkar itu sendiri.
Atas dasar bekerjanya kepentingan kapital jelas akan berimplikasi pula pada kepentingan kapital pula. Bukan atas dasar kepentingan idealisme partai. Kebiasan-kebiasaan seperti inilah yang nantinya justru akan menimbulkan kebobrokan partai dan kader itu sendiri. Kader hanya akan disuguhi pragmatisme semu tanpa berangkat dari idealisme partai. Implikasinya, akan mewabah, menjangkiti, mengajari kepada publik bahwa demokrasi adalah pragmatisme material belaka.
Tidak bisa dibayangkan. Bahkan petinggi Golkar sendiri yang mengatakan bahwa angka tawaran per suara (DPD) tembus hingga Rp 1 miliar. Yang terjadi hanyalah politik transaksional. Bisa disimpulkan bahwa kader Golkar mata duitan dan tidak lagi memegang idealisme partai yang diperjuangkan.
Idealisme partai Golkar sebagai wadah aspirasi kader dan masyarakatnya hanya sebatas wacana. Munas sebagai wadah demokratisasi Golkar yang sakral hendaknya mampu menghasilkan produk-produk kerja partai yang betul-betul sesuai dengan kepentingan rakyat, bukan sebagai ajang perumusan program pengkhianatan terhadap rakyat.
Sebagai partai politik, partai Golkar tidak mempunyai keunggulan kompetitif. Garis perjuangan partai sangat kabur dan absurd. Seperti yang dikatan PG 1 yang baru bahwa Partai Golkar perlu memiliki garis yang tegas dalam setiap masalah. Terutama dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Terlebih, dalam arena demokratisasi partai bahwa soal oposisi dan koalisi sudah tidak relevan. Menurutnya, posisi yang terbaik untuk kepentingan Indonesia dan kontribusinya. Bukan pilihan ideologi yang kaku dan taktis, bisa bermanuver mengikat dan melepas, menjauh dan mendekat, merangkul dan membagi tempat. Namun, secara kongrit ketegasan tersebut belum ada faktanya.

Kesimpulannya, Partai Golkar sebagai salah satu partai besar dan mempunyai potensi kekuatan politik yang luar biasa bakal ditinggalkan oleh konstituennya secara perlahan tapi pasti. Melihat apa yang terjadi (nasib), Partai Golkar On The Right Track sesuai dengan kondisi dan fakta yang melekat pada Partai Golkar itu sendiri.

Lemahnya Daya Tawar Serikat Pekerja; Potret Perjuangan Sarikat Pekerja Indonesia

Ditengah gempuran kondisi krisis ekonomi (global) yang tidak menentu, pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja (buruh/pekerja) disudutkan oleh dilema yang menemukan persoalan yang pelik untuk memutuskannya. Pemerintah berkepentingan menjaga kondisi stabilitas ekonomi. Pengusaha mewakili kepentingan modalnya. Sedangkan serikat pekerja peranannya lebih ditikberatkan pada kepentingan tenaga kerja dengan berbagai kesejahteraannya.
Dalam kasus tertentu, pekerja selalu mendapatkan akibat paling parah. Pemerintah sebagai regulator lebih mementingkan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi yang mantap dari pada faktor pekerja sebagai penyokong penggerak perekonomian riil. Tak heran jika pekerja dengan sarikat pekerjanya terus melakukan “perjuangan” dalam mencari keadilan.
Kondisi ekonomi yang carut marut baik makro maupun riil, serikat pekerja (pekerja/buruh) selalu mendapatkan ganjaran buruk dan selalu “dikalahkan”. Dalam upaya mendekatkan hubungan pekerja dan pengusaha yang berada pada kutub yang berbeda, pemerintah sebagai regulator berusaha menerapkan hubungan industrial yang ideal. Dalam hal ini berarti serikat pekerja (pekerja), pengusaha, dan pemerintah tercipta saling merasa ikut memiliki (rumongso handarbeni), ikut memelihara dan mempertahankan (melu hangrungsokebi), dan terus mawas diri (mulat sariro hangroso wani) yang mengandung asas partnership dan tanggung jawab bersama. Disamping itu, juga diharapkan terwujudnya hubungan industrial yang yang adil dan beradab, tidak menganggap pekerja sekedar faktor produksi, melainkan sebagai manusia pribadi dengan segala harkat dan martabatnya.
Rumusan diatas merupakan prinsip-prinsip yang ideal (das sollen). Namun ternyata bahwa implikasi pelaksanaannya (das sein) tidak dapat begitu saja dilaksanakan. Persoalan pertama adalah disebabkan Hubungan Industri yang ideal merupakan konsep yang abstrak tersebut hendak diterapkan pada Hubungan Industrial yang konkret dalam realitas.
Seolah tidak pernah habisnya. Persoalan yang masih dihadapi serikat pekerja saat ini adalah persoalan klasik yang masih pada tataran kesejahteraan material yang belum layak. Tak heran jika perjuangan-perjuangan serikat pekerja terus digulirkan dalam mencari keadilan. Sayangnya, perjuangan serikat pekerja masih dipandang sebelah mata.

Pengusaha, Pemerintah, Dan Serikat Pekerja
Harus dimengerti bahwa kepentingan pengusaha adalah meningkatkan keberhasilan dan menjamin keberlangsungan usahanya (going concern). Pengusaha pada dasarnya, demi kepentingannya maka ingin mencapai keuntungan yang sebanyak-banyaknya dengan pengeluaran tertentu (seminimal mungkin). Sehingga tujuan-tujuan lain dari perusahaan dapat tercapai, yakni Menjaga /mengamankan assetnya, Mengembangkan modal/asset untuk memberikan nilai tambah, Meningkatkan penghasilan pengusaha, dan Aktualisasi diri sebagai manajemen yang sukses.
Pemerintah, secara normatif mempunyai kepentingan dan tanggung jawab terhadap keberlangsungan pembangunan nasional yang dilakukan dalam rangka membangun manusia seutuhnya. Pembangunan dilaksanakan demi mewujudnya masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur, yang merata, baik material maupun spiritual berdasarkan pancasila dan UUD 1945.
Pemerintah diharuskan dalam batas-batas tertentu untuk mengatur hubungan kerja khususnya dan kegiatan ekonomi umumnya. Perjanjian kerja dalam setiap hubungan kerja perlu dijamin pelaksanaannya. Untuk itu dibutuhkan seperangkat peraturan maupun perundang-undangan dan aparat pelaksanaannya yang mengawasi terselenggaranya aturan tersebut. Pemerintah berkewajiban melindungi kepentingan para pihak yang melakukan hubugan kerja tersebut agar tidak ada pihak-pihak yang merugikan karena kecurangan oleh pihak lainnya.
Selain itu, pemerintah mempunyai kepentingan dari hubungan kerja tersebut, yaitu Sumber kesempatan kerja, Sumber penghasilan masyarakat, Menjamin penyediaan dan arus barang bagi masyarakat konsumen dan produsen lain, Sumber pertumbuhan ekonomi, Sumber devisa, Sumber pendapatan negara (pajak perusahaan dan pajak penghasilan).
Dalam peranan dan kedudukannya, tenaga kerja sebagai pelaku dan tujuan pembangunan. Pekerja atau serikat pekerja mempunyai kepentingan; Kesempatan kerja, Sumber penghasilan, Sarana melatih diri, memperkaya pengalaman dan meningkatkan keahlian/keterampilan kerja, Tempat pengembangan karier, Aktualisasi keberhasilan; mencapai puncak karier.
Antara pengusaha dan pekerja terdapat perbedaan kedudukan kepentingan. Pengusaha ingin mencapai keuntungan yang maksimal dengan pengeluaran yang seminimal (mungkin). Artinya, majikan bertindak mewakili kepentingan modal. Sedangkan pekerja peranannya lebih dititik beratkan pada kepentingan tenaga kerja. Dengan kata lain, pihak pekerja menghendaki upah yang cukup sesuai dengan prestasi yang telah dilakukannya.
Dua kutub inilah yang menjadi sumber setiap persoalan perburuhan sejak dulu hingga sekarang. Kasus pemberhentian atau pemutusan hubungan kerja sepihak, pemberian upah yang tidak layak, tidak adanya perlidungan dan kesempatan kerja, jam kerja, pemogokan penuntutan kenaikan upah, dan skorsing yang dilakukan pengusaha seolah-olah sudah menjadi persoalan yang laten dalam Hubungan Industrial.
Ditingkatan makro, ketersediaan jumlah tenaga kerja yang timpang dengan kebutuhan organisasi perusahaan juga menjadi salah satu faktor yang turut memperlemah posisi tawar-menawar pekerja. Ketimpangan ketersediaan dan kebutuhan akan tenaga kerja membuat organisasi perusahaan menjadi arogan dalam memberlakukan karyawan. Bila karyawan melakukan kesalahan sedikit, tak segan-segan organisasi perusahaan melakukan pemecatan sepihak tanpa pesangon.
Dalam upaya mendekatkan hubungan pengusaha dan pekerja yang berada dalam dua kutub yang bersimpangan, pemerintah mempunyai kepentingan terhadap perekonomian yang mantap dengan tidak saling merugikan keduanya.

Tuntutan Buruh Hanya Masih Sekedar Kesejahteraan Material
Isu serikat buruh (buruh/pekerja) ‘sehari-hari’ menghapuskan ‘upah murah’ menjadi upah layak. Sampai saat ini, tuntutan utama buruh adalah perbaikan kesejahteraan dengan upah layak nasional, minimum Rp 2 juta/bulan. Selebihnya, sibuk membentuk konfederasi nasional buruh Indonesia yang menurut mereka akan lebih progresif dan demokratis, dan ikut membangun solidaritas buruh sedunia untuk menghadapi imperialisme modal.

Mementingkan Pertumbuhan Ekonomi Yang Stabil Dan Semu
Kebijakan pemerintah terhadap pekerja selama ini hanya lebih menyenangkan kaum pemilik modal, stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Dengan pertumbuhan ekonomi 5-6% per tahun, kalau upah dinaikkan justru menambah pengangguran baru. Menurut pemerintah, upah buruh memang perlu dinaikkan tetapi secara bertahap.
Dalam beberapa aksi akhir-akhir ini, demi kenyamanan pengusaha dan pertumbuhan ekonomi yang stabil, pemerintah menolak kenaikan upah secara drastis. Sebab hal itu dipandangnya akan memicu PHK massal karena kondisi ekonomi nasional yang belum memungkinkan.
Seolah pemerintah hanya memberikan ruang bagi serikat pekerja hanya menyampaikan pendapat mereka lewat aksi demo atau mogok, yang penting tidak dilakukan dengan kekerasan. Secara substansial, tuntutan-tuntutan serikat pekerja diabaikan pemerintah. Serikat pekerja hanya bisa teriak-teriak aksi demo jika melakukan penuntutan.

Politisasi Serikat Pekerja
Sejak reformasi, euphoria demokrasi semakin tak terkendali. Kebebasan berkumpul dan berorganisasi dijamin oleh undang-undang.
Perjuangan kaum buruh dalam rangka untuk mendapatkan hak mereka masih menjadi komoditas kampanye elite politik. Namun, politisasi buruh belum berimplikasi langsung pada perbaikan kesejahteraan buruh. Suara buruh selalu diperebutkan dalam setiap pemilu. Setidaknya terdapat 37 juta buruh sektor formal. Selain itu, para elite buruh acapkali sengaja melibatkan diri dalam politik praktis. Kondisi ini melemahkan gerakan buruh dan menggerus soliditas buruh.
Misalnya, Kasus Mengenai bagaimana harus bersikap terhadap Pemilu 2009, pandangan buruh dan serikat buruh terbelah. 3 Konfederasi seperti KSPSI, KSPI dan KSBSI, 20 Federasi serikat pekerja dan 7 organisasi pemerhati buruh, menyerukan kepada semua buruh untuk menggunakan hak pilihnya di Pemilu Legislatif pada April 2009 mendatang. Mereka berharap agar caleg yang dipilih adalah para kader-kader serikat pekerja dan aktivis buruh di partai politik mana pun. Sekadar informasi, beberapa serikat pekerja atau aktivis buruh memang sudah terikat ‘kontrak’ dengan partai politik. Sedangkan dalam Pemilu untuk memilih Presiden/Wakil Presiden, serikat pekerja akan melaksanakan kongres pekerja untuk menetapkan pilihannya. Kandidat yang dipilih tentu yang memiliki visi dan misi bagi peningkatan kesejahteraan buruh.
Sementara seruan untuk ‘golput’ alias tak menggunakan hak pilih di Pemilu 2009, datang dari Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI). Kondisi hasil pemilu sebagai kegitan politik hanya menghasilkan janji-janji kosong yang tidak pernah ditepati dan mengecewakan.
Semestinya serikat pekerja mampu memberikan dirinya sebagai kekuatan politik yang konsisten dalam menjabarkan berbagai rencana mereka soal ketenagakerjaan. Sehingga serikat pekerja tidak hanya sebagai objek dan komoditas politik.

Struktur Pengangguran
Semakin besarnya struktur pengangguran dan pencari kerja, sementara daya serap lapangan kerja yang tidak bisa dikatakan memadai. Perbandingan dua hal yang tidak proporsional tersebut menyebabkan posisi tawar-menawar (bargaining position) tenaga kerja/sarikat pekerja menjadi lemah. Kondisi seperti ini menempatkan kedudukan tenaga kerja/sarikat pekerja menjadi pihak yang selalu dirugikan dan dikalahkan.
Lebih parah lagi, masalah pengangguran yang justru mempengaruhi daya tawar pekerja/sarikat pekerja tidak dimasukan sebagai indikator makroekonomi. Ketika pemerintah mengklaim kondisi makroekonomi sangat baik, angka-angka yang biasa diperlihatkan sering tidak mencakup angka pengangguran. Sedangkan masalah pengangguran dan kemiskinan tidak teratasi dengan baik. Padahal, menurut text book, pengangguran (atau tingkat penggunaan tenaga kerja sebagai kebalikannya) adalah salah satu soal terpenting makroekonomi. Pengangguran sebagai indikator makroekonomi bermanfaat untuk mengetahui bagian dari tenaga kerja yang sesungguhnya terlibat, atau berusaha untuk terlibat, dalam kegiatan memproduksi barang dan jasa selama kurun waktu tertentu.
Perkembangan angka pengangguran di Indonesia selama beberapa tahun terakhir memperlihatkan bahwa masalahnya masih sangat krusial. Jumlah orang yang menganggur masih sangat besar, sebanyak 10 juta orang pada tahun 2007, yang dilihat secara prosentase pun tergolong tinggi, masih sekitar 9,1 % dari jumlah seluruh angkatan kerja. Jika angka setengah pengangguran, mereka yang tidak sepenuhnya bekerja, turut dihitung, maka jumlahnya akan mencapai lebih dari 25 juta orang. Mereka yang bekerja kurang dari 35 jam dalam seminggu pada tahun 2007 telah mencapai 15,2 juta orang. Hal ini akan sangat mempengaruhi terhadap daya tawar pekerja/serikat pekerja bila pemerintah hanya lebih mengedepankan pertumbuhan ekonomi yang lebih bersifat semu.

Hal yang bisa diandalkan oleh aktivis dan serikat pekerja sampai sejauh ini adalah peran individu dalam perubahan sosial. Tak jarang dan menjadi keharusan meningkat menjadi kumpulan individu yang terorganisir, sebuah komponen masyarakat, yang memotori perubahan dalam hal tertentu. Dan dalam beberapa kasus, pekerja dan serikat pekerja ini berhasil mendapatkan dukungan atau partisipasi dari masyarakat yang lebih luas.
Dalam konteks ini, eksplorasi nilai-nilai normatif sering kali menjadi langkah efektif. Tema-tema peradaban, kemanusiaan, nilai-nilai agama, dan nilai-nilai luhur lain yang universal harus dimunculkan kembali yang lebih massif (Awalil Rizky, 2007).
Sebagai serikat pekerja yang menjadikan sebuah gerakan hendaknya bisa mengembangkan kerja sama dan aliansi. Sangat mungkin dikembangkan aliansi strategis dan taktis atas dasar pemahaman kekinian. Untuk beberapa komponen, bahkan bisa dibangun aliansi idealis, dimana terdapat banyak kesamaan mengenai idealita yang diperjuangkan untuk terwujud. Semoga.
* diambil dari berbagai sumber referensi

05 Februari 2009

Ancang-ancang Di Awal Pemilu 2009

Genderang pesta demokrasi telah ditabuh. Gebyar semarak pesta demokrasi membuat gagap gempita warna bagi rakyatnya. Dengan multipartai, masyarakat disuguhi dengan banyak alternatif dalam memilih pilihan calon pemimpin dan wakil idamannya. Memilih pemimpin yang mampu menyelesaikan persoalan yang bergelayut di negeri ini. Dan, bukan memilih pilihan yang justru akan menambah masalah.

Pemilu dianggap sebagai pintu gerbang memetik harapan dimasa depan. Sebab pemilu sebagai pesta politik panglima pembangunan. Memang kenyataan sosial banyak dibentuk oleh sistem politik. Sistem politik itu sendiri yang menjelaskan proses manajemen sejarah untuk mengelola nilai kemanusiaan dan kesejahteraan hidup.

Jluntrungannya, muara sistem politik adalah kekuasaan. Kekuasaan dipandang dari sudut manapun sering membuaikan orang untuk meraihnya, homo HominiLupus. Kondisi ini mulai memanas ketika bendera strat telah dikibarkan. Tak pelak jika calon pemimpin dan wakil rakyat berlomba-lomba meraih simpati masyarakat untuk memberikan amanahnya. Berbagai macam cara dilakoni demi sebuah kursi kekuasaan. Berbagai macam iklan memenuhi ruang-ruang kosong berbagai media. Dari yang berkelas sandal jepit hingga berharga mahal. Dari yang berkelas trotoar hingga berkelas digital.

Melihat pada tataran spektrum sistem politik yang lebih luas, muncul perlawanan terhadap status quo dari berbagai steak holder kepentingan. Bahkan jauh-jauh hari Gus Dur mengamanatkan kepada warganya untuk golput. Belum lagi 'golput' mazhab golongan lainnya. Selain itu, kelompok raja-raja nusantara ternyata diam-diam menyusun potensinya untuk menyerbu Batavia (Jakarta).

Sebagai golongan sosial yang otonom dan independen, mahasiswa sering kali mengusung jargon-jargon gerakan moral dalam mengawal konstelasi politik yang tengah berlangsung. Sampai hari ini suara-suara mahasiswa yang menganggap dirinya sebagai kelas sosial istimewa belum bermunculan ke permukaan.

Dengan kontelasi politik yang ada, akankah menghasilkan sebuah dialektika yang memberikan hikmah demokrasi? Atau pemimpin dan wakil-wakil kita yang sedang sibuk pasang kuda-kuda untuk menyambut kursi idaman, akan mampu mengganti rugi apa yang selayaknya diberikan kepada rakyatnya yang notabene melarat? Semoga.

24 Januari 2009

Liberalisasi Kebablasan

Orang Miskin Dilarang Sekolah....,Orang Miskin Dilarang Kuliah....,Orang Miskin Dilarang Sakit...,Petani Miskin Dilarang Kesawah....

Sampai hari ini keresahan yang dirasakan oleh masyarakat memang beralasan dan wajar. Dari kutipan diatas pastinya merepresantasikan keresahan masyarakat terhadap konstelasi liberalisasi yang kebablasan dalam konteks berbangsa dan bernegara. Pemerintah sepertinya jor-joran terhadap regulasi-regulasi yang tidak memihak terhadap rakyatnya. Setiap kebijakan negara yang ditelorkan selalu menemukan resistensinya pada realitas kehidupan berbangsa.
Kenyataan seperti ini adalah munculnya indikasi agenda neoliberalisme yang sedang berjalan di Indonesia. Terbukti, tiga pilar iman neoliberalisme, yaitu privatisasi, deregulasi, dan liberalisasi diamini oleh pemerintah dengan menjalankan regulasi yang jelas tidak memihak kepada rakyatnya sendiri. Panduan tata kelola negara ini bukan lagi dengan visi kemanusiaan, politik, atau sosiologi, tetapi karena logika pasar yang disesuaikan dengan proyek-proyek neoliberalisme.


Orang Miskin Dilarang Sekolah....,Orang Miskin Dilarang Kuliah....,Orang Miskin Dilarang Sakit...,Petani Miskin Dilarang Kesawah....

Tiga pilar iman tersebut menjadi mainstream dalam tata kelola kehidupan berbangsa yang diyakini mampu menciptakan kesejahteraan. Tidak perlu ada lagi misi charitas, tidak perlu ada lagi sistem kesejahteraan. Karena keterbelakangan, kekurangan, dan kemiskinan adalah akibat dari kesalahan sendiri, akibat dari ketidakmampuan untuk mengubah aset diri menjadi laba sehingga orang-orang tidak berkesempatan di pasar.
Lebih parah lagi, hak-hak dasar kemanusiaan, seperti pendidikan yang mustinya menjadi tanggung jawab negara pun pelan-pelan diserahkan kepada mekanisme pasar. Lahirnya undang-undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) adalah indikasi lepas tangannya pemerintah terhadap tanggung jawabnya pada soal pendidikan. Regulasi pendidikan (BHP) justeru menghakimi status kemanusiaan warganya dengan predikat miskin, bodoh, pemalas, tidak suka bekerja keras. Menghalangi hak warganya untuk meningkatkan kapasitas kemanusiaan dengan pembatasan-pembatasan jenjang pendidikan bersyarat kapital.
Berapa ratus atau bahkan berapa ribu pelajar tidak mampu menjadi mahasiswa bukan karena bodoh, tapi karena tidak sanggup ”membeli” sekolah tinggi. Inilah gambaran pemiskinan, makna potensi kemanusiaan dalam sebuah batasan yang sempit berupa daya beli.

17 Januari 2009

Nasib Perekonomian Dalam Negeri Dihantui Pasar Finansial Global


Gejolak pasar uang dan modal global mempunyai pengaruh besar kondisi pasar uang dan modal di dalam negeri. Anjloknya harga IHSG merupakan bukti lemahnya perekonomian Indonesia terhadap pasar global.

Selasa minggu kemarin, bursa perdagangan terpaksa tutup setelah IHSG anjlok 168 poin atau 10,3 persen ke posisi 1.451,669 yang tidak lain disebabkan kerena krisis finansial global.
Menjadi catatan penting, ketika pengalaman krisis ekonomi 1997 dan masih memburuknya kinerja perekonomian Indonesia hingga kini pada dasarnya disebabkan oleh karena integrasinya yang semakin erat pada tatanan kapitalisme internasional. Krisis yang begitu dahsyat dan berdampak buruk bagi raktyat Indonesia ternyata tidak teramalkan oleh para ahli ekonomi. Beberapa ekonom yang kritis dan yang bukan mainstreasms memang terlebih dahulu menyadari buruknya keadaan. Namun, pihak pemerintah dan ekonomi kebanyakan sama sekali tidak menduga akan adanya kejadian-kejadian pada tahun 1997 dan setahun setelahnya.
Penutupan Bursa Efek Indoneisa (BEI) dan dibarengi dengan langkah kebijakan penyelamatan bursa, minggu kemarin, bisa dibilang sebagai langkah yang untuk sementara bisa katakana tepat. Namun pemerintah masih harus was-was karena sebanyak 70% kepemilikan atas saham di pasar modal Indonesia saat ini dikuasai asing. Artinya, jika modal dengan tiba-tiba ditarik oleh pemiliknya dalam kondisi seperti ini sangat mungkin terjadi hostile take over terhadap sumber-sumber kekayaan (alam) Indonesia.

Pemerintah Harus Tombok
Ditengah batuk-batuknya perekonomian Indonesia dan kesulitan-kesulitan BUMN, masih saja BUMN harus menomboki di BEI atas turunnya IHSG. Untuk mendorong pulihnya kembali IHSG di Bursa Efek Indonesia pemerintah terpaksa menyiapakan dana sebesar Rp 4 triliun sebagai modal melancarkan jurus buyback saham-saham BUMN yang sudah go public atau membeli saham emiten diluar BUMN.
Lagi-lagi BUMN dipaksa harus menjadi tumbal untuk menyelamatkan perdagangan di Bursa. Menurut pemerintah, alasan BUMN sebagai penyangga atas kondisi krisis di bursa adalah alasan yang paling relistis. Sebab pemerintah hanya punya itu (BUMN)! Kemudian yang menjadi pertanyaan, siapakah yang diuntungkan? Dan siapakah yang dirugikan?
BUMN tidak lagi menjadi kebanggan soko guru perekonomian nasional yang mensejahterkan rakyat pada umumnya. BUMN hanya sebagai jaminan jangka pendek atas gonjang-ganjingnya perekonomian yang tidak memihak kepentingan rakyat. Disisi lain, pasar modal Indonesia juga telah menyumbangkan banyak keuntungan terhadap modal asing yang parkir di pasar Indonesia. Saat ini, dengan pertimbangan pasar, kebijakan-kebijakan pemerintah belum tertarik pada keberpihakan dan pertimbangan strategis terhadap bangsa dan rakyat Indonesia.
Dibarengi dengan presiden SBY menetapkan kebijakan yang salah satunya memastikan sekror riil tetap bergerak. Sangat ironis, ketika melihat relita di lapangan bahwa banyak terjadi penggusuran-penggusuran penggerak sektor riil di berbagai daerah. Artinya ada sebuah ketidakkonsistenan pemerintah dalam menjalankan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya..
Patut menjadi perhatian bagi si pembuat kebijakan dalam menanggapi tanda-tanda gejolak finansial global saat ini. Masyarakat sangat berharap kepada pemerintah sebagai pengambil kebijakan strategis jangan sampai rakyat harus menanggung kembali dampak yang terjadi seperti krisis-krisis sebelumnya.
Meskipun agaknya terlambat, alangkah baiknya pemerintah dan bangsa Indonesia harus menyadari bahwa kita sebaiknya dalam konteks perekonomian nasional hendaknya mampu menciptakan kemandirian ekonomi. Tak dielakkan lagi, kekuatan eksternal global lebih mempunyai pengaruh sangat kuat terhadap kondisi perekonomian nasional. Dan, saat ini kita telah tertinggal oleh banyak langkah.