Sampai hari ini keresahan yang dirasakan oleh masyarakat memang beralasan dan wajar. Dari kutipan diatas pastinya merepresantasikan keresahan masyarakat terhadap konstelasi liberalisasi yang kebablasan dalam konteks berbangsa dan bernegara. Pemerintah sepertinya jor-joran terhadap regulasi-regulasi yang tidak memihak terhadap rakyatnya. Setiap kebijakan negara yang ditelorkan selalu menemukan resistensinya pada realitas kehidupan berbangsa.
Kenyataan seperti ini adalah munculnya indikasi agenda neoliberalisme yang sedang berjalan di Indonesia. Terbukti, tiga pilar iman neoliberalisme, yaitu privatisasi, deregulasi, dan liberalisasi diamini oleh pemerintah dengan menjalankan regulasi yang jelas tidak memihak kepada rakyatnya sendiri. Panduan tata kelola negara ini bukan lagi dengan visi kemanusiaan, politik, atau sosiologi, tetapi karena logika pasar yang disesuaikan dengan proyek-proyek neoliberalisme.
Orang Miskin Dilarang Sekolah....,Orang Miskin Dilarang Kuliah....,Orang Miskin Dilarang Sakit...,Petani Miskin Dilarang Kesawah....
Lebih parah lagi, hak-hak dasar kemanusiaan, seperti pendidikan yang mustinya menjadi tanggung jawab negara pun pelan-pelan diserahkan kepada mekanisme pasar. Lahirnya undang-undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) adalah indikasi lepas tangannya pemerintah terhadap tanggung jawabnya pada soal pendidikan. Regulasi pendidikan (BHP) justeru menghakimi status kemanusiaan warganya dengan predikat miskin, bodoh, pemalas, tidak suka bekerja keras. Menghalangi hak warganya untuk meningkatkan kapasitas kemanusiaan dengan pembatasan-pembatasan jenjang pendidikan bersyarat kapital.
Berapa ratus atau bahkan berapa ribu pelajar tidak mampu menjadi mahasiswa bukan karena bodoh, tapi karena tidak sanggup ”membeli” sekolah tinggi. Inilah gambaran pemiskinan, makna potensi kemanusiaan dalam sebuah batasan yang sempit berupa daya beli.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar