10 Oktober 2009

Lemahnya Daya Tawar Serikat Pekerja; Potret Perjuangan Sarikat Pekerja Indonesia

Ditengah gempuran kondisi krisis ekonomi (global) yang tidak menentu, pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja (buruh/pekerja) disudutkan oleh dilema yang menemukan persoalan yang pelik untuk memutuskannya. Pemerintah berkepentingan menjaga kondisi stabilitas ekonomi. Pengusaha mewakili kepentingan modalnya. Sedangkan serikat pekerja peranannya lebih ditikberatkan pada kepentingan tenaga kerja dengan berbagai kesejahteraannya.
Dalam kasus tertentu, pekerja selalu mendapatkan akibat paling parah. Pemerintah sebagai regulator lebih mementingkan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi yang mantap dari pada faktor pekerja sebagai penyokong penggerak perekonomian riil. Tak heran jika pekerja dengan sarikat pekerjanya terus melakukan “perjuangan” dalam mencari keadilan.
Kondisi ekonomi yang carut marut baik makro maupun riil, serikat pekerja (pekerja/buruh) selalu mendapatkan ganjaran buruk dan selalu “dikalahkan”. Dalam upaya mendekatkan hubungan pekerja dan pengusaha yang berada pada kutub yang berbeda, pemerintah sebagai regulator berusaha menerapkan hubungan industrial yang ideal. Dalam hal ini berarti serikat pekerja (pekerja), pengusaha, dan pemerintah tercipta saling merasa ikut memiliki (rumongso handarbeni), ikut memelihara dan mempertahankan (melu hangrungsokebi), dan terus mawas diri (mulat sariro hangroso wani) yang mengandung asas partnership dan tanggung jawab bersama. Disamping itu, juga diharapkan terwujudnya hubungan industrial yang yang adil dan beradab, tidak menganggap pekerja sekedar faktor produksi, melainkan sebagai manusia pribadi dengan segala harkat dan martabatnya.
Rumusan diatas merupakan prinsip-prinsip yang ideal (das sollen). Namun ternyata bahwa implikasi pelaksanaannya (das sein) tidak dapat begitu saja dilaksanakan. Persoalan pertama adalah disebabkan Hubungan Industri yang ideal merupakan konsep yang abstrak tersebut hendak diterapkan pada Hubungan Industrial yang konkret dalam realitas.
Seolah tidak pernah habisnya. Persoalan yang masih dihadapi serikat pekerja saat ini adalah persoalan klasik yang masih pada tataran kesejahteraan material yang belum layak. Tak heran jika perjuangan-perjuangan serikat pekerja terus digulirkan dalam mencari keadilan. Sayangnya, perjuangan serikat pekerja masih dipandang sebelah mata.

Pengusaha, Pemerintah, Dan Serikat Pekerja
Harus dimengerti bahwa kepentingan pengusaha adalah meningkatkan keberhasilan dan menjamin keberlangsungan usahanya (going concern). Pengusaha pada dasarnya, demi kepentingannya maka ingin mencapai keuntungan yang sebanyak-banyaknya dengan pengeluaran tertentu (seminimal mungkin). Sehingga tujuan-tujuan lain dari perusahaan dapat tercapai, yakni Menjaga /mengamankan assetnya, Mengembangkan modal/asset untuk memberikan nilai tambah, Meningkatkan penghasilan pengusaha, dan Aktualisasi diri sebagai manajemen yang sukses.
Pemerintah, secara normatif mempunyai kepentingan dan tanggung jawab terhadap keberlangsungan pembangunan nasional yang dilakukan dalam rangka membangun manusia seutuhnya. Pembangunan dilaksanakan demi mewujudnya masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur, yang merata, baik material maupun spiritual berdasarkan pancasila dan UUD 1945.
Pemerintah diharuskan dalam batas-batas tertentu untuk mengatur hubungan kerja khususnya dan kegiatan ekonomi umumnya. Perjanjian kerja dalam setiap hubungan kerja perlu dijamin pelaksanaannya. Untuk itu dibutuhkan seperangkat peraturan maupun perundang-undangan dan aparat pelaksanaannya yang mengawasi terselenggaranya aturan tersebut. Pemerintah berkewajiban melindungi kepentingan para pihak yang melakukan hubugan kerja tersebut agar tidak ada pihak-pihak yang merugikan karena kecurangan oleh pihak lainnya.
Selain itu, pemerintah mempunyai kepentingan dari hubungan kerja tersebut, yaitu Sumber kesempatan kerja, Sumber penghasilan masyarakat, Menjamin penyediaan dan arus barang bagi masyarakat konsumen dan produsen lain, Sumber pertumbuhan ekonomi, Sumber devisa, Sumber pendapatan negara (pajak perusahaan dan pajak penghasilan).
Dalam peranan dan kedudukannya, tenaga kerja sebagai pelaku dan tujuan pembangunan. Pekerja atau serikat pekerja mempunyai kepentingan; Kesempatan kerja, Sumber penghasilan, Sarana melatih diri, memperkaya pengalaman dan meningkatkan keahlian/keterampilan kerja, Tempat pengembangan karier, Aktualisasi keberhasilan; mencapai puncak karier.
Antara pengusaha dan pekerja terdapat perbedaan kedudukan kepentingan. Pengusaha ingin mencapai keuntungan yang maksimal dengan pengeluaran yang seminimal (mungkin). Artinya, majikan bertindak mewakili kepentingan modal. Sedangkan pekerja peranannya lebih dititik beratkan pada kepentingan tenaga kerja. Dengan kata lain, pihak pekerja menghendaki upah yang cukup sesuai dengan prestasi yang telah dilakukannya.
Dua kutub inilah yang menjadi sumber setiap persoalan perburuhan sejak dulu hingga sekarang. Kasus pemberhentian atau pemutusan hubungan kerja sepihak, pemberian upah yang tidak layak, tidak adanya perlidungan dan kesempatan kerja, jam kerja, pemogokan penuntutan kenaikan upah, dan skorsing yang dilakukan pengusaha seolah-olah sudah menjadi persoalan yang laten dalam Hubungan Industrial.
Ditingkatan makro, ketersediaan jumlah tenaga kerja yang timpang dengan kebutuhan organisasi perusahaan juga menjadi salah satu faktor yang turut memperlemah posisi tawar-menawar pekerja. Ketimpangan ketersediaan dan kebutuhan akan tenaga kerja membuat organisasi perusahaan menjadi arogan dalam memberlakukan karyawan. Bila karyawan melakukan kesalahan sedikit, tak segan-segan organisasi perusahaan melakukan pemecatan sepihak tanpa pesangon.
Dalam upaya mendekatkan hubungan pengusaha dan pekerja yang berada dalam dua kutub yang bersimpangan, pemerintah mempunyai kepentingan terhadap perekonomian yang mantap dengan tidak saling merugikan keduanya.

Tuntutan Buruh Hanya Masih Sekedar Kesejahteraan Material
Isu serikat buruh (buruh/pekerja) ‘sehari-hari’ menghapuskan ‘upah murah’ menjadi upah layak. Sampai saat ini, tuntutan utama buruh adalah perbaikan kesejahteraan dengan upah layak nasional, minimum Rp 2 juta/bulan. Selebihnya, sibuk membentuk konfederasi nasional buruh Indonesia yang menurut mereka akan lebih progresif dan demokratis, dan ikut membangun solidaritas buruh sedunia untuk menghadapi imperialisme modal.

Mementingkan Pertumbuhan Ekonomi Yang Stabil Dan Semu
Kebijakan pemerintah terhadap pekerja selama ini hanya lebih menyenangkan kaum pemilik modal, stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Dengan pertumbuhan ekonomi 5-6% per tahun, kalau upah dinaikkan justru menambah pengangguran baru. Menurut pemerintah, upah buruh memang perlu dinaikkan tetapi secara bertahap.
Dalam beberapa aksi akhir-akhir ini, demi kenyamanan pengusaha dan pertumbuhan ekonomi yang stabil, pemerintah menolak kenaikan upah secara drastis. Sebab hal itu dipandangnya akan memicu PHK massal karena kondisi ekonomi nasional yang belum memungkinkan.
Seolah pemerintah hanya memberikan ruang bagi serikat pekerja hanya menyampaikan pendapat mereka lewat aksi demo atau mogok, yang penting tidak dilakukan dengan kekerasan. Secara substansial, tuntutan-tuntutan serikat pekerja diabaikan pemerintah. Serikat pekerja hanya bisa teriak-teriak aksi demo jika melakukan penuntutan.

Politisasi Serikat Pekerja
Sejak reformasi, euphoria demokrasi semakin tak terkendali. Kebebasan berkumpul dan berorganisasi dijamin oleh undang-undang.
Perjuangan kaum buruh dalam rangka untuk mendapatkan hak mereka masih menjadi komoditas kampanye elite politik. Namun, politisasi buruh belum berimplikasi langsung pada perbaikan kesejahteraan buruh. Suara buruh selalu diperebutkan dalam setiap pemilu. Setidaknya terdapat 37 juta buruh sektor formal. Selain itu, para elite buruh acapkali sengaja melibatkan diri dalam politik praktis. Kondisi ini melemahkan gerakan buruh dan menggerus soliditas buruh.
Misalnya, Kasus Mengenai bagaimana harus bersikap terhadap Pemilu 2009, pandangan buruh dan serikat buruh terbelah. 3 Konfederasi seperti KSPSI, KSPI dan KSBSI, 20 Federasi serikat pekerja dan 7 organisasi pemerhati buruh, menyerukan kepada semua buruh untuk menggunakan hak pilihnya di Pemilu Legislatif pada April 2009 mendatang. Mereka berharap agar caleg yang dipilih adalah para kader-kader serikat pekerja dan aktivis buruh di partai politik mana pun. Sekadar informasi, beberapa serikat pekerja atau aktivis buruh memang sudah terikat ‘kontrak’ dengan partai politik. Sedangkan dalam Pemilu untuk memilih Presiden/Wakil Presiden, serikat pekerja akan melaksanakan kongres pekerja untuk menetapkan pilihannya. Kandidat yang dipilih tentu yang memiliki visi dan misi bagi peningkatan kesejahteraan buruh.
Sementara seruan untuk ‘golput’ alias tak menggunakan hak pilih di Pemilu 2009, datang dari Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI). Kondisi hasil pemilu sebagai kegitan politik hanya menghasilkan janji-janji kosong yang tidak pernah ditepati dan mengecewakan.
Semestinya serikat pekerja mampu memberikan dirinya sebagai kekuatan politik yang konsisten dalam menjabarkan berbagai rencana mereka soal ketenagakerjaan. Sehingga serikat pekerja tidak hanya sebagai objek dan komoditas politik.

Struktur Pengangguran
Semakin besarnya struktur pengangguran dan pencari kerja, sementara daya serap lapangan kerja yang tidak bisa dikatakan memadai. Perbandingan dua hal yang tidak proporsional tersebut menyebabkan posisi tawar-menawar (bargaining position) tenaga kerja/sarikat pekerja menjadi lemah. Kondisi seperti ini menempatkan kedudukan tenaga kerja/sarikat pekerja menjadi pihak yang selalu dirugikan dan dikalahkan.
Lebih parah lagi, masalah pengangguran yang justru mempengaruhi daya tawar pekerja/sarikat pekerja tidak dimasukan sebagai indikator makroekonomi. Ketika pemerintah mengklaim kondisi makroekonomi sangat baik, angka-angka yang biasa diperlihatkan sering tidak mencakup angka pengangguran. Sedangkan masalah pengangguran dan kemiskinan tidak teratasi dengan baik. Padahal, menurut text book, pengangguran (atau tingkat penggunaan tenaga kerja sebagai kebalikannya) adalah salah satu soal terpenting makroekonomi. Pengangguran sebagai indikator makroekonomi bermanfaat untuk mengetahui bagian dari tenaga kerja yang sesungguhnya terlibat, atau berusaha untuk terlibat, dalam kegiatan memproduksi barang dan jasa selama kurun waktu tertentu.
Perkembangan angka pengangguran di Indonesia selama beberapa tahun terakhir memperlihatkan bahwa masalahnya masih sangat krusial. Jumlah orang yang menganggur masih sangat besar, sebanyak 10 juta orang pada tahun 2007, yang dilihat secara prosentase pun tergolong tinggi, masih sekitar 9,1 % dari jumlah seluruh angkatan kerja. Jika angka setengah pengangguran, mereka yang tidak sepenuhnya bekerja, turut dihitung, maka jumlahnya akan mencapai lebih dari 25 juta orang. Mereka yang bekerja kurang dari 35 jam dalam seminggu pada tahun 2007 telah mencapai 15,2 juta orang. Hal ini akan sangat mempengaruhi terhadap daya tawar pekerja/serikat pekerja bila pemerintah hanya lebih mengedepankan pertumbuhan ekonomi yang lebih bersifat semu.

Hal yang bisa diandalkan oleh aktivis dan serikat pekerja sampai sejauh ini adalah peran individu dalam perubahan sosial. Tak jarang dan menjadi keharusan meningkat menjadi kumpulan individu yang terorganisir, sebuah komponen masyarakat, yang memotori perubahan dalam hal tertentu. Dan dalam beberapa kasus, pekerja dan serikat pekerja ini berhasil mendapatkan dukungan atau partisipasi dari masyarakat yang lebih luas.
Dalam konteks ini, eksplorasi nilai-nilai normatif sering kali menjadi langkah efektif. Tema-tema peradaban, kemanusiaan, nilai-nilai agama, dan nilai-nilai luhur lain yang universal harus dimunculkan kembali yang lebih massif (Awalil Rizky, 2007).
Sebagai serikat pekerja yang menjadikan sebuah gerakan hendaknya bisa mengembangkan kerja sama dan aliansi. Sangat mungkin dikembangkan aliansi strategis dan taktis atas dasar pemahaman kekinian. Untuk beberapa komponen, bahkan bisa dibangun aliansi idealis, dimana terdapat banyak kesamaan mengenai idealita yang diperjuangkan untuk terwujud. Semoga.
* diambil dari berbagai sumber referensi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar