Semenjak Akbar Tanjung menyelamatkan partai Golkar dari badai keruntuhan ternyata para kader partai Golkar belum mampu melakukan terobosan politik yang lebih mutakhir dalam mewarnai proses demokratisasi hingga sekarang. Kondisi ini menyangatkan kepada kita bahwa partai Golkar belum selesai bahkan berjalan ditempat dalam melakukan terobosan-terobosan politik.
Golkar belum mampu melakukan terobosan politik yang lebih mutakhir. Dengan terpilihnya Aburuzal Bakri pada munas VII di Pekanbaru, arah kebijakan partai dengan jelas bisa ditebak bahwa Golkar merupakan partai yang rasional dalam menentukan pilihan politiknya, yaitu bergabung dengan kekuasaan, status quo. Salah satu faktornya adalah masih kuatnya budaya Golkar versi orde baru yang masih dianut oleh Golkar versi reformasi. Partai Golkar terbiasa dengan ketergantungan dengan kekuasaan status quo.
Terlebih, terpilihnya Ical panggilan Aburuzal Bakri menjadi PG 1. Pasalnya, semenjak pemilihan eksekutif Ical sangat getol untuk mendukung sacara financial terhadap pasangan SBY-Budiono. Dipastikan 100% gerbong partai Golkar yang dinahkodai Ical bakal bergabung dengan kubu status quo. Sudah dapat dipastikan bahwa selama lima tahun ke depan Golkar bakal duduk manis berdampingan dengan kekuatan status quo.
Kemenangan Aburizal Bakri dalam munas Golkar VIII di pekan baru merupakan kondisi nyata dari proses demokrasi yang sah dengan berbagai sistem dan aturan main yang ada. Namun ada beberapa hal yang memperihatinkan. Secara khusus, santernya isu money politics yang terjadi di munas justeru menciderai demokrastisasi partai Golkar itu sendiri.
Atas dasar bekerjanya kepentingan kapital jelas akan berimplikasi pula pada kepentingan kapital pula. Bukan atas dasar kepentingan idealisme partai. Kebiasan-kebiasaan seperti inilah yang nantinya justru akan menimbulkan kebobrokan partai dan kader itu sendiri. Kader hanya akan disuguhi pragmatisme semu tanpa berangkat dari idealisme partai. Implikasinya, akan mewabah, menjangkiti, mengajari kepada publik bahwa demokrasi adalah pragmatisme material belaka.
Tidak bisa dibayangkan. Bahkan petinggi Golkar sendiri yang mengatakan bahwa angka tawaran per suara (DPD) tembus hingga Rp 1 miliar. Yang terjadi hanyalah politik transaksional. Bisa disimpulkan bahwa kader Golkar mata duitan dan tidak lagi memegang idealisme partai yang diperjuangkan.
Idealisme partai Golkar sebagai wadah aspirasi kader dan masyarakatnya hanya sebatas wacana. Munas sebagai wadah demokratisasi Golkar yang sakral hendaknya mampu menghasilkan produk-produk kerja partai yang betul-betul sesuai dengan kepentingan rakyat, bukan sebagai ajang perumusan program pengkhianatan terhadap rakyat.
Sebagai partai politik, partai Golkar tidak mempunyai keunggulan kompetitif. Garis perjuangan partai sangat kabur dan absurd. Seperti yang dikatan PG 1 yang baru bahwa Partai Golkar perlu memiliki garis yang tegas dalam setiap masalah. Terutama dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Terlebih, dalam arena demokratisasi partai bahwa soal oposisi dan koalisi sudah tidak relevan. Menurutnya, posisi yang terbaik untuk kepentingan Indonesia dan kontribusinya. Bukan pilihan ideologi yang kaku dan taktis, bisa bermanuver mengikat dan melepas, menjauh dan mendekat, merangkul dan membagi tempat. Namun, secara kongrit ketegasan tersebut belum ada faktanya.
Kesimpulannya, Partai Golkar sebagai salah satu partai besar dan mempunyai potensi kekuatan politik yang luar biasa bakal ditinggalkan oleh konstituennya secara perlahan tapi pasti. Melihat apa yang terjadi (nasib), Partai Golkar On The Right Track sesuai dengan kondisi dan fakta yang melekat pada Partai Golkar itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar