11 Oktober 2009

Miris; K3 Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri

Setiap pekerjaan yang dilakukan oleh Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri mempunyai potensi resiko yang tidak kecil dan berbahaya. Potensi resiko tersebut mengakibatkan TKI meninggal, mengidap penyakit kronis, cacat permanen total maupun sebagian, hingga tidak mampu untuk bekarja lagi. Banyak kasus-kasus TKI yang mustinya menjadi perhatian oleh pemerintah. Di setiap pemberitaan media massa mengenai TKI hanyalah persoalan mengenai kitidakadaannya jaminan atas Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3).
Misalnya, di Kabupaten Jember, Jawa Timur, sebagian mantan TKI positif terjangkit HIV/AIDS. Sebagian besar mereka tertular saat bekerja menjadi TKI di luar negeri, kemudian pulang ke Indonesia sudah terinfeksi dan positif HIV/AIDS. (Kompas, 11/10). Setiap tahun terdapat 15 tenaga kerja Indonesia meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas di Malaysia, Johor.
Selama tahun 2004 sampai 2009 saja terdapat kasus kekerasan terhadap TKI, antara lain kasus Nirmala Bonet yang melarikan diri karena tidak kuat atas penyiksaan yang dilakukan majikannya sehingga ia mengalami kecacatan permanen. Hal serupa juga dialami oleh Ceriyati dan Parsiti yang merupakan TKI asal Brebes dan Wonosobo, Jawa Tengah. Lebih parah lagi yang dialami oleh Kurniasih (Demak, Jawa Tengah) yang terpaksa harus meninggal dunia karena tidak tahan mendapat siksaan dari majikannya. Kasus kekerasan juga dialami oleh Fiktoria Usnaat, Siti Fatonah, Siti Hajar, Modesta Rengga Kaka. Dan, masih banyak lagi seabreg kasus mengenai ketidakadaannya jaminan Kesehatan dan Keselamatan Kerja para TKI.
Meskipun mengandung banyak resiko yang berbahaya, tidak sedikit tenaga kerja Indonesia mendambakan untuk bekerja di luar negeri. Arus migrasi tenaga kerja Indonesia ke luar negeri semakin hari semakin besar jumlahnya. Karena beberapa alasan, salah satunya, yaitu tingkat upah riil yang diberikan lebih tinggi dari pada tingkat upah dalam negeri. Di Indonesia, beberapa tahun terakhir upah riil yang diberikan kepada buruh sangat jauh dari Kondisi Hidup Layak (KHL). Pemerintah lebih suka mengamankan pertumbuhan dan stabilitas ekonomi makro.
Kedua, tingkat kesejahteraan dan tingkat upah dalam negeri tidak menjanjikan. Artinya harapan hidup sebagai buruh di Indonesia tidak cukup untuk memenuhi hidup layak. Hal ini bisa dideskripsikan dengan kondisi ketidaksejahteraan atau kemiskinan di Indonesia. Jika menggunakan ukuran 2 dollar sebagai tolak ukur kesejahteraan maka jumlah kemiskinan di Indonesia sebesar 49% dari jumlah penduduk Indonesia (Bank Dunia, 2007).
Ketiga, masalah ketenagakerjaan khusunya mengenai kesempatan kerja dalam negeri. Perbandingan pengangguran dan kesempatan tidak seimbang. Secara makro ekonomi, jumlah angka yang menganggur masih sangat besar. Di tahun 2006 sebanyak 10 juta orang menganggur atau 9,1% dari seluruh jumlah angkatan kerja. Artinya, harapan untuk mendapatkan pekerjaan di dalam negeri sangat sulit.
Meskipun mempunyai potensi resiko yang berbahaya, banyak tenaga kerja Indonesia yang lari keluar negeri untuk mengadu dan merubah nasib yang lebih baik. Bahkan dengan alasan tertentu, tenaga kerja Indonesia terpaksa dengan cara-cara yang ilegal.

Pemerintah Cuci Tangan
Pemerintah sangat mendorong tenaga kerja Indonesia untuk bekerja di luar negeri. TKI diharapkan mampu memberikan pendapatan terhadap negara. Secara teknis, support pemerintah terhadap TKI, antara lain melaksanakan reformasi birokrasi. Pelayanan birokrasi kepada TKI di Malaysia, dengan lebih cepat. Pengurusan paspor di Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur bagi TKI, misalnya, dari 41 hari kini dipangkas jadi hanya 3 jam. Penyediaan terminal khusus untuk TKI di Bandar Udara Soekarno-Hatta. Dan berbagai support teknis lainnya.
Namun, dipihak lain ketika pemerintah dihadapkan pada persoalan-persoalan mengenai Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), seolah-olah cuci tangan. TKI hanya sebatas komoditas ekonomi untuk mendapatkan pendapatan bagi negara. Bisa dikatakan jumlah devisa yang disumbangkan tenaga kerja Indonesia TKI pada tahun 2008 sebesar Rp 130 triliun atau 13 miliar dollar AS.
Habis manis sepah dibuang. Mungkin begitulah gambaran kita terhadap pemerintah Indonesia mengenai TKI di luar negeri. Dan, TKI di luar negeri sebagai pahlwan devisa adalah mitos.

10 Oktober 2009

On The Right Track; Partai Golkar

Semenjak Akbar Tanjung menyelamatkan partai Golkar dari badai keruntuhan ternyata para kader partai Golkar belum mampu melakukan terobosan politik yang lebih mutakhir dalam mewarnai proses demokratisasi hingga sekarang. Kondisi ini menyangatkan kepada kita bahwa partai Golkar belum selesai bahkan berjalan ditempat dalam melakukan terobosan-terobosan politik.
Golkar belum mampu melakukan terobosan politik yang lebih mutakhir. Dengan terpilihnya Aburuzal Bakri pada munas VII di Pekanbaru, arah kebijakan partai dengan jelas bisa ditebak bahwa Golkar merupakan partai yang rasional dalam menentukan pilihan politiknya, yaitu bergabung dengan kekuasaan, status quo. Salah satu faktornya adalah masih kuatnya budaya Golkar versi orde baru yang masih dianut oleh Golkar versi reformasi. Partai Golkar terbiasa dengan ketergantungan dengan kekuasaan status quo.
Terlebih, terpilihnya Ical panggilan Aburuzal Bakri menjadi PG 1. Pasalnya, semenjak pemilihan eksekutif Ical sangat getol untuk mendukung sacara financial terhadap pasangan SBY-Budiono. Dipastikan 100% gerbong partai Golkar yang dinahkodai Ical bakal bergabung dengan kubu status quo. Sudah dapat dipastikan bahwa selama lima tahun ke depan Golkar bakal duduk manis berdampingan dengan kekuatan status quo.
Kemenangan Aburizal Bakri dalam munas Golkar VIII di pekan baru merupakan kondisi nyata dari proses demokrasi yang sah dengan berbagai sistem dan aturan main yang ada. Namun ada beberapa hal yang memperihatinkan. Secara khusus, santernya isu money politics yang terjadi di munas justeru menciderai demokrastisasi partai Golkar itu sendiri.
Atas dasar bekerjanya kepentingan kapital jelas akan berimplikasi pula pada kepentingan kapital pula. Bukan atas dasar kepentingan idealisme partai. Kebiasan-kebiasaan seperti inilah yang nantinya justru akan menimbulkan kebobrokan partai dan kader itu sendiri. Kader hanya akan disuguhi pragmatisme semu tanpa berangkat dari idealisme partai. Implikasinya, akan mewabah, menjangkiti, mengajari kepada publik bahwa demokrasi adalah pragmatisme material belaka.
Tidak bisa dibayangkan. Bahkan petinggi Golkar sendiri yang mengatakan bahwa angka tawaran per suara (DPD) tembus hingga Rp 1 miliar. Yang terjadi hanyalah politik transaksional. Bisa disimpulkan bahwa kader Golkar mata duitan dan tidak lagi memegang idealisme partai yang diperjuangkan.
Idealisme partai Golkar sebagai wadah aspirasi kader dan masyarakatnya hanya sebatas wacana. Munas sebagai wadah demokratisasi Golkar yang sakral hendaknya mampu menghasilkan produk-produk kerja partai yang betul-betul sesuai dengan kepentingan rakyat, bukan sebagai ajang perumusan program pengkhianatan terhadap rakyat.
Sebagai partai politik, partai Golkar tidak mempunyai keunggulan kompetitif. Garis perjuangan partai sangat kabur dan absurd. Seperti yang dikatan PG 1 yang baru bahwa Partai Golkar perlu memiliki garis yang tegas dalam setiap masalah. Terutama dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Terlebih, dalam arena demokratisasi partai bahwa soal oposisi dan koalisi sudah tidak relevan. Menurutnya, posisi yang terbaik untuk kepentingan Indonesia dan kontribusinya. Bukan pilihan ideologi yang kaku dan taktis, bisa bermanuver mengikat dan melepas, menjauh dan mendekat, merangkul dan membagi tempat. Namun, secara kongrit ketegasan tersebut belum ada faktanya.

Kesimpulannya, Partai Golkar sebagai salah satu partai besar dan mempunyai potensi kekuatan politik yang luar biasa bakal ditinggalkan oleh konstituennya secara perlahan tapi pasti. Melihat apa yang terjadi (nasib), Partai Golkar On The Right Track sesuai dengan kondisi dan fakta yang melekat pada Partai Golkar itu sendiri.

Lemahnya Daya Tawar Serikat Pekerja; Potret Perjuangan Sarikat Pekerja Indonesia

Ditengah gempuran kondisi krisis ekonomi (global) yang tidak menentu, pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja (buruh/pekerja) disudutkan oleh dilema yang menemukan persoalan yang pelik untuk memutuskannya. Pemerintah berkepentingan menjaga kondisi stabilitas ekonomi. Pengusaha mewakili kepentingan modalnya. Sedangkan serikat pekerja peranannya lebih ditikberatkan pada kepentingan tenaga kerja dengan berbagai kesejahteraannya.
Dalam kasus tertentu, pekerja selalu mendapatkan akibat paling parah. Pemerintah sebagai regulator lebih mementingkan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi yang mantap dari pada faktor pekerja sebagai penyokong penggerak perekonomian riil. Tak heran jika pekerja dengan sarikat pekerjanya terus melakukan “perjuangan” dalam mencari keadilan.
Kondisi ekonomi yang carut marut baik makro maupun riil, serikat pekerja (pekerja/buruh) selalu mendapatkan ganjaran buruk dan selalu “dikalahkan”. Dalam upaya mendekatkan hubungan pekerja dan pengusaha yang berada pada kutub yang berbeda, pemerintah sebagai regulator berusaha menerapkan hubungan industrial yang ideal. Dalam hal ini berarti serikat pekerja (pekerja), pengusaha, dan pemerintah tercipta saling merasa ikut memiliki (rumongso handarbeni), ikut memelihara dan mempertahankan (melu hangrungsokebi), dan terus mawas diri (mulat sariro hangroso wani) yang mengandung asas partnership dan tanggung jawab bersama. Disamping itu, juga diharapkan terwujudnya hubungan industrial yang yang adil dan beradab, tidak menganggap pekerja sekedar faktor produksi, melainkan sebagai manusia pribadi dengan segala harkat dan martabatnya.
Rumusan diatas merupakan prinsip-prinsip yang ideal (das sollen). Namun ternyata bahwa implikasi pelaksanaannya (das sein) tidak dapat begitu saja dilaksanakan. Persoalan pertama adalah disebabkan Hubungan Industri yang ideal merupakan konsep yang abstrak tersebut hendak diterapkan pada Hubungan Industrial yang konkret dalam realitas.
Seolah tidak pernah habisnya. Persoalan yang masih dihadapi serikat pekerja saat ini adalah persoalan klasik yang masih pada tataran kesejahteraan material yang belum layak. Tak heran jika perjuangan-perjuangan serikat pekerja terus digulirkan dalam mencari keadilan. Sayangnya, perjuangan serikat pekerja masih dipandang sebelah mata.

Pengusaha, Pemerintah, Dan Serikat Pekerja
Harus dimengerti bahwa kepentingan pengusaha adalah meningkatkan keberhasilan dan menjamin keberlangsungan usahanya (going concern). Pengusaha pada dasarnya, demi kepentingannya maka ingin mencapai keuntungan yang sebanyak-banyaknya dengan pengeluaran tertentu (seminimal mungkin). Sehingga tujuan-tujuan lain dari perusahaan dapat tercapai, yakni Menjaga /mengamankan assetnya, Mengembangkan modal/asset untuk memberikan nilai tambah, Meningkatkan penghasilan pengusaha, dan Aktualisasi diri sebagai manajemen yang sukses.
Pemerintah, secara normatif mempunyai kepentingan dan tanggung jawab terhadap keberlangsungan pembangunan nasional yang dilakukan dalam rangka membangun manusia seutuhnya. Pembangunan dilaksanakan demi mewujudnya masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur, yang merata, baik material maupun spiritual berdasarkan pancasila dan UUD 1945.
Pemerintah diharuskan dalam batas-batas tertentu untuk mengatur hubungan kerja khususnya dan kegiatan ekonomi umumnya. Perjanjian kerja dalam setiap hubungan kerja perlu dijamin pelaksanaannya. Untuk itu dibutuhkan seperangkat peraturan maupun perundang-undangan dan aparat pelaksanaannya yang mengawasi terselenggaranya aturan tersebut. Pemerintah berkewajiban melindungi kepentingan para pihak yang melakukan hubugan kerja tersebut agar tidak ada pihak-pihak yang merugikan karena kecurangan oleh pihak lainnya.
Selain itu, pemerintah mempunyai kepentingan dari hubungan kerja tersebut, yaitu Sumber kesempatan kerja, Sumber penghasilan masyarakat, Menjamin penyediaan dan arus barang bagi masyarakat konsumen dan produsen lain, Sumber pertumbuhan ekonomi, Sumber devisa, Sumber pendapatan negara (pajak perusahaan dan pajak penghasilan).
Dalam peranan dan kedudukannya, tenaga kerja sebagai pelaku dan tujuan pembangunan. Pekerja atau serikat pekerja mempunyai kepentingan; Kesempatan kerja, Sumber penghasilan, Sarana melatih diri, memperkaya pengalaman dan meningkatkan keahlian/keterampilan kerja, Tempat pengembangan karier, Aktualisasi keberhasilan; mencapai puncak karier.
Antara pengusaha dan pekerja terdapat perbedaan kedudukan kepentingan. Pengusaha ingin mencapai keuntungan yang maksimal dengan pengeluaran yang seminimal (mungkin). Artinya, majikan bertindak mewakili kepentingan modal. Sedangkan pekerja peranannya lebih dititik beratkan pada kepentingan tenaga kerja. Dengan kata lain, pihak pekerja menghendaki upah yang cukup sesuai dengan prestasi yang telah dilakukannya.
Dua kutub inilah yang menjadi sumber setiap persoalan perburuhan sejak dulu hingga sekarang. Kasus pemberhentian atau pemutusan hubungan kerja sepihak, pemberian upah yang tidak layak, tidak adanya perlidungan dan kesempatan kerja, jam kerja, pemogokan penuntutan kenaikan upah, dan skorsing yang dilakukan pengusaha seolah-olah sudah menjadi persoalan yang laten dalam Hubungan Industrial.
Ditingkatan makro, ketersediaan jumlah tenaga kerja yang timpang dengan kebutuhan organisasi perusahaan juga menjadi salah satu faktor yang turut memperlemah posisi tawar-menawar pekerja. Ketimpangan ketersediaan dan kebutuhan akan tenaga kerja membuat organisasi perusahaan menjadi arogan dalam memberlakukan karyawan. Bila karyawan melakukan kesalahan sedikit, tak segan-segan organisasi perusahaan melakukan pemecatan sepihak tanpa pesangon.
Dalam upaya mendekatkan hubungan pengusaha dan pekerja yang berada dalam dua kutub yang bersimpangan, pemerintah mempunyai kepentingan terhadap perekonomian yang mantap dengan tidak saling merugikan keduanya.

Tuntutan Buruh Hanya Masih Sekedar Kesejahteraan Material
Isu serikat buruh (buruh/pekerja) ‘sehari-hari’ menghapuskan ‘upah murah’ menjadi upah layak. Sampai saat ini, tuntutan utama buruh adalah perbaikan kesejahteraan dengan upah layak nasional, minimum Rp 2 juta/bulan. Selebihnya, sibuk membentuk konfederasi nasional buruh Indonesia yang menurut mereka akan lebih progresif dan demokratis, dan ikut membangun solidaritas buruh sedunia untuk menghadapi imperialisme modal.

Mementingkan Pertumbuhan Ekonomi Yang Stabil Dan Semu
Kebijakan pemerintah terhadap pekerja selama ini hanya lebih menyenangkan kaum pemilik modal, stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Dengan pertumbuhan ekonomi 5-6% per tahun, kalau upah dinaikkan justru menambah pengangguran baru. Menurut pemerintah, upah buruh memang perlu dinaikkan tetapi secara bertahap.
Dalam beberapa aksi akhir-akhir ini, demi kenyamanan pengusaha dan pertumbuhan ekonomi yang stabil, pemerintah menolak kenaikan upah secara drastis. Sebab hal itu dipandangnya akan memicu PHK massal karena kondisi ekonomi nasional yang belum memungkinkan.
Seolah pemerintah hanya memberikan ruang bagi serikat pekerja hanya menyampaikan pendapat mereka lewat aksi demo atau mogok, yang penting tidak dilakukan dengan kekerasan. Secara substansial, tuntutan-tuntutan serikat pekerja diabaikan pemerintah. Serikat pekerja hanya bisa teriak-teriak aksi demo jika melakukan penuntutan.

Politisasi Serikat Pekerja
Sejak reformasi, euphoria demokrasi semakin tak terkendali. Kebebasan berkumpul dan berorganisasi dijamin oleh undang-undang.
Perjuangan kaum buruh dalam rangka untuk mendapatkan hak mereka masih menjadi komoditas kampanye elite politik. Namun, politisasi buruh belum berimplikasi langsung pada perbaikan kesejahteraan buruh. Suara buruh selalu diperebutkan dalam setiap pemilu. Setidaknya terdapat 37 juta buruh sektor formal. Selain itu, para elite buruh acapkali sengaja melibatkan diri dalam politik praktis. Kondisi ini melemahkan gerakan buruh dan menggerus soliditas buruh.
Misalnya, Kasus Mengenai bagaimana harus bersikap terhadap Pemilu 2009, pandangan buruh dan serikat buruh terbelah. 3 Konfederasi seperti KSPSI, KSPI dan KSBSI, 20 Federasi serikat pekerja dan 7 organisasi pemerhati buruh, menyerukan kepada semua buruh untuk menggunakan hak pilihnya di Pemilu Legislatif pada April 2009 mendatang. Mereka berharap agar caleg yang dipilih adalah para kader-kader serikat pekerja dan aktivis buruh di partai politik mana pun. Sekadar informasi, beberapa serikat pekerja atau aktivis buruh memang sudah terikat ‘kontrak’ dengan partai politik. Sedangkan dalam Pemilu untuk memilih Presiden/Wakil Presiden, serikat pekerja akan melaksanakan kongres pekerja untuk menetapkan pilihannya. Kandidat yang dipilih tentu yang memiliki visi dan misi bagi peningkatan kesejahteraan buruh.
Sementara seruan untuk ‘golput’ alias tak menggunakan hak pilih di Pemilu 2009, datang dari Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI). Kondisi hasil pemilu sebagai kegitan politik hanya menghasilkan janji-janji kosong yang tidak pernah ditepati dan mengecewakan.
Semestinya serikat pekerja mampu memberikan dirinya sebagai kekuatan politik yang konsisten dalam menjabarkan berbagai rencana mereka soal ketenagakerjaan. Sehingga serikat pekerja tidak hanya sebagai objek dan komoditas politik.

Struktur Pengangguran
Semakin besarnya struktur pengangguran dan pencari kerja, sementara daya serap lapangan kerja yang tidak bisa dikatakan memadai. Perbandingan dua hal yang tidak proporsional tersebut menyebabkan posisi tawar-menawar (bargaining position) tenaga kerja/sarikat pekerja menjadi lemah. Kondisi seperti ini menempatkan kedudukan tenaga kerja/sarikat pekerja menjadi pihak yang selalu dirugikan dan dikalahkan.
Lebih parah lagi, masalah pengangguran yang justru mempengaruhi daya tawar pekerja/sarikat pekerja tidak dimasukan sebagai indikator makroekonomi. Ketika pemerintah mengklaim kondisi makroekonomi sangat baik, angka-angka yang biasa diperlihatkan sering tidak mencakup angka pengangguran. Sedangkan masalah pengangguran dan kemiskinan tidak teratasi dengan baik. Padahal, menurut text book, pengangguran (atau tingkat penggunaan tenaga kerja sebagai kebalikannya) adalah salah satu soal terpenting makroekonomi. Pengangguran sebagai indikator makroekonomi bermanfaat untuk mengetahui bagian dari tenaga kerja yang sesungguhnya terlibat, atau berusaha untuk terlibat, dalam kegiatan memproduksi barang dan jasa selama kurun waktu tertentu.
Perkembangan angka pengangguran di Indonesia selama beberapa tahun terakhir memperlihatkan bahwa masalahnya masih sangat krusial. Jumlah orang yang menganggur masih sangat besar, sebanyak 10 juta orang pada tahun 2007, yang dilihat secara prosentase pun tergolong tinggi, masih sekitar 9,1 % dari jumlah seluruh angkatan kerja. Jika angka setengah pengangguran, mereka yang tidak sepenuhnya bekerja, turut dihitung, maka jumlahnya akan mencapai lebih dari 25 juta orang. Mereka yang bekerja kurang dari 35 jam dalam seminggu pada tahun 2007 telah mencapai 15,2 juta orang. Hal ini akan sangat mempengaruhi terhadap daya tawar pekerja/serikat pekerja bila pemerintah hanya lebih mengedepankan pertumbuhan ekonomi yang lebih bersifat semu.

Hal yang bisa diandalkan oleh aktivis dan serikat pekerja sampai sejauh ini adalah peran individu dalam perubahan sosial. Tak jarang dan menjadi keharusan meningkat menjadi kumpulan individu yang terorganisir, sebuah komponen masyarakat, yang memotori perubahan dalam hal tertentu. Dan dalam beberapa kasus, pekerja dan serikat pekerja ini berhasil mendapatkan dukungan atau partisipasi dari masyarakat yang lebih luas.
Dalam konteks ini, eksplorasi nilai-nilai normatif sering kali menjadi langkah efektif. Tema-tema peradaban, kemanusiaan, nilai-nilai agama, dan nilai-nilai luhur lain yang universal harus dimunculkan kembali yang lebih massif (Awalil Rizky, 2007).
Sebagai serikat pekerja yang menjadikan sebuah gerakan hendaknya bisa mengembangkan kerja sama dan aliansi. Sangat mungkin dikembangkan aliansi strategis dan taktis atas dasar pemahaman kekinian. Untuk beberapa komponen, bahkan bisa dibangun aliansi idealis, dimana terdapat banyak kesamaan mengenai idealita yang diperjuangkan untuk terwujud. Semoga.
* diambil dari berbagai sumber referensi