10 Oktober 2011

Kebumen In Figures 2009: Penggunaan Lahan

Dari luas wilayah Kabupaten Kebumen, pada tahun 2009 tercatat 39.768.00 hektar atau sekitar 31.04 persen sebagai lahan sawah dan 88,343.50 haktar atau sekitar 68.98 persen sebagai lahan kering. Menurut sistem irigasinya, sebagian besar lahan sawah beririgasi teknis sebesar 50.34 persen dan hampir seluruhnya dapat ditanami dua kali setahun. Beririgasi setengah teknis sebesar 9.23 persen, irigasi sederhana 5.77 persen. sedangkan beririgasi desa 2.65 persen dan sebagian berupa sawah tadah hujan dan pasang surut (32.02 persen).



Penggunaan lahan kering (bukan sawah) dibagi menjadi untuk lahan pertanian sebesar 42,799.50 hektar (48.45 persen) dan bukan untuk pertanian sebesar 45,544.00 hektar (51.55 persen) lahan kering untuk pertanian terbagi atas tegal/kebun seluas 27,629 hektar, lading/huma seluas 745 hektar, perkebunan seluas 1,159 ha, hutan rakyat seluas 3,011 ha, tambak seluas 24 ha, kolam seluas 53 ha, padang pengembalaan seluas 33 ha. Sementara lahan tidak diusahakan seluas 231 ha dan lainnya seluas 9,914 ha. Sedangkan lahan kering bukan untuk pertanian digunakan untuk bangunan seluas 26,021 hektar, hutan negara seluas 16,861 hektar, rawa-rawa seluas 12 hekatar serta lainnya seluas 2,654 hektar.

 
Sumber: Kebumen Dalam Angka Tahun 2009

Manajemen Mutu Pendidikan; Sebuah Pengantar

Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan khususnya jenjang sekolah. Berbagai telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Penerapan Manajemen Mutu di sekolah merupakan bentuk tindak lanjut yang dilandasi oleh Undang-undang No.  20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standard Nasional Pendidikan. Manajemen Mutu menjadi dasar dalam pemahaman sekolah dalam upaya mewujudkan dan mengidentifikasi pemetaan dan strategi pendidikan menengah.
Dalam pemahaman umum tentang manajemen mutu pendidikan seperti; yang dirumuskan oleh Kementerian Pendidikan Nasional bahwa Manajemen Peningkatan Mutu adalah sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada kepala sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah (guru, peserta didik, kepala sekolah, karyawan, orang tua peserta didik, dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan nasional. Manajemen Mutu Pendidikan diharapkan menjadi acuan dalam mendirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif.
Menurut Myers dan Stonehill (1993) Manajemen Mutu adalah strategi untuk memperbaiki pendidikan dengan mentransfer otoritas pengambilan keputusan sekolah secara individual oleh kepala sekolah. Dengan demikian akan memperbesar peran stakeholder lokal dalam pengambilan keputusan dalam meningkatkan lingkungan belajar secara efektif. Manajemen sendiri secara umum dapat diartikan sebagai proses pengelolaan pendidikan mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengontrolan. Proses dilakukan melalui perbaikan berkelanjutan sehingga kelemahan yang terjadi secara tepat dan cepat dapat diperbaiki. Manajemen mutu memerlukan penyatupaduan dalam prrogram dan tindakan, sehingga pelaksanaan pengaturan sebagai komponen sekolah tidak saling berbenturan, saling lempar tanggung jawab dan mengabaikan kualitas. Dengan demikian pemcapaian tujuan pendidikan sekolah dapat diwujudkan secara efektif dan efisien.
Dalam konteks pendidikan pengertian mutu mengacu pada proses dan hasil pendidikan. Proses pendidikan melibatkan berbagai input, yaitu bahan ajar, metodologi, sarana sekolah, dukungan administrasi, dan prasarana lainnya, serta lingkungan yang kondusif. Manajemen sekolah berfungsi mensinkronkan berbagai input tersebut atau mensinergikan semua komponen dalam interaksi (proses) belajar mengajar baik guru, siswa, serta sarana pendukung di luar kelas. Kualitas dalam konteks hasil pendidikan mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu. Antara proses dan hasil pendidikan yang bermutu saling berhubungan sehingga terbentuk rangkaian kualitas total atau menyeluruh. Mutu merupakan gagasan dinamis yang sulit untuk diseragamkan.  Secara konsep mutu dapat dibedakan menjadi dua, yaitu konsep absolut dan konsep relatif.
Menurut Sallis (1993), terdapat tiga pengertian konsep mutu. Pertama, mutu sebagai konsep yang absolut (mutlak), kedua, mutu dalam konsep yang relatif, dan ketiga mutu menurut pelanggan. Dalam pengertian absolut, sesuatu disebut bermutu jika memenuhi standar yang tertinggi dan tidak dapat diungguli, sehingga mutu dianggap sesuatu yang ideal yang tidak dapat dikompromikan, seperti kebaikan, keindahan, kebenaran. Mutu dalam konsep ini menunjukkan keunggulan status dan posisi dengan mutu tinggi (high quality). Jika dikaitkan dengan konteks pendidikan, maka konsep mutu absolut bersifat elit karena hanya sedikit lembaga pendidikan yang dapat memberikan pendidikan dengan high quality kepada siswa, dan sebagian besar siswa tidak dapat menjangkaunya. Mutu sebagai konsep relatif sangat mengikuti keinginan pelanggan, yang menghasilakan keluaran secara kontekstual.

Manajemen Pendidikan di Era Otonomi
Dengan digulirkannya otonomi daerah, dengan keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pendidikan maka sebagai konsekuensinya terhadap manajemen pendidikan di Indonesia adalah penyesuian diri dari pola manajemen pendidikan sentralistik menuju pola manajemen pendidikan desentralistik yang lebih bernuansa otonomi dan lebih demokratis. Dengan penyesuaian diri dari pola manajemen pendidikan desentralistik untuk itu diperlukan konsep pokok pemikiran dalam perubahan pengelolaan pendidikan di era otonomi yang dapat dilihat sebagai berikut:

Manajemen Mutu Dalam Total Quality Management (TQM)
Total Quality Management (TQM) atau disebut  Manajemen Mutu Terpadu (MMT) hadir sebagai jawaban atas kebutuhan akan mutu tersebut. Suatu produk dan/atau jasa  dibuat sedemikian rupa agar dapat memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggannya. Titik temunya  antara harapan dan kebutuhan pelanggaran dengan  hasil produk dan/atau jasa itulah yang disebut “bermutu.” Jadi ukuran bermutu tidaknya suatu produk dan/atau jasa adalah pada terpenuhi tidaknya harapan dan kebutuhan pengguna/pelanggan. Semakin tinggi tuntutan pengguna maka semakin tinggi kualitas mutu tersebut.
Menurut Salis (1993) TQM adalah sebagai suatu filosofi dan suatu metodologi untuk membantu mengelola perubahan, dan inti dari TQM adalah perubahan budaya dari pelakunya. Lebih lanjut Slamet (1995) menegaskan bahwa TQM adalah suatu prosedur dimana setiap orang berusaha keras secara terus menerus memperbaiki jalan menuju sukses. TQM bukanlah seperangkat peraturan dan ketentuan yang kaku, tetapi  merupakan prosesproses dan prosedur-prosedur untuk memperbaiki kinerja.
  Dalam kerangka  manajemen pengembangan mutu terpadu, usaha pendidikan tidak lain adalah merupakan usaha “jasa” yang memberikan pelayanan kepada  pelanggannya, yaitu mereka yang belajar dalam lembaga 11pendidikan tersebut.  Mereka yang belajar tersebut bisa merupakan pelajar/murid/peserta belajar yang biasa disebut klien/pelanggan primer (primary external customers). Mereka inilah yang langsung menerima manfaat layanan pendidikan dari lembaga tersebut. Para klien terkait dengan orang yang mengirimnya ke lembaga pendidikan, yaitu orang tua atau lembaga tempat klien tersebut bekerja, dan mereka ini kita sebut sebagai  pelanggan sekunder  (secondary external customers). Pelanggan lainnya yang bersifat tersier adalah  lapangan kerja bisa pemerintah maupun masyarakat pengguna output pendidikan (tertiary external customers).
Selain itu, dalam hubungan kelembagaan masih terdapat pelanggan lainnya yaitu yang berasal dari interen lembaga; mereka itu adalah para guru dan tenaga administrasi lembaga pendidikan, serta pimpinan lembaga pendidikan (internal customers). Walaupun para para guru dan tenaga administrasi, serta pimpinan lembaga pendidikan tersebut terlibat dalam proses pelayanan jasa, tetapi mereka termasuk juga pelanggan jika dilihat dari hubungan manajemen. Mereka berkepentingan dengan lembaga tersebut untuk maju, karena semakin maju dan berkualitas mereka diuntungkan, baik secara kebanggaan maupun finansial.

Sumber:
Abu, Duhou Ibtisam. 2002, School Based Management (Manajemen Berbasis Sekolah), Jakartra; Logos
Badan Penelitian dan Pengambangan Pusat Kurikulum, 2010, Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi pembelajaran Berdasarkan Nilai-nilai Budaya Untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa, Jakarta; Kementerian Pendidikan Nasional
E. Mulyasa, 2002, Manajemen Berbasis Sekolah, Cetakan Kelima, PT. Remaja Rosdakarya; Bandung
Muslich, Masnur. 2011, Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional, Jakarta; Bumi Aksara
Nurkholis, 2004, Manajemen Berbasis Sekolah, Teori, Model, dan Aplikasi, Cetakan Pertama, Jakarta; PT Gramedia Widyasarana Indonesia
Pidarta, Made. 2007, Landasan Kependidikan Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia, Jakarta; Rineka Cipta
Salis, Edward. 1993, Total Quality Management in Education. Kogan Page; London
Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 32 tahun 2004 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta
_______ Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 19 Tahun 2005 tentang standar Nasional Pendidikan, Jakarta
Widodo, Suparno Eko. 2011, Manajemen Mutu Pendidikan (Untuk Guru dan Kepala Sekolah), Jakarta; Ardadizya Jaya