13 Agustus 2010

Gender dan Kewirausahaan; Sebuah Pengantar di Kabupaten Kebumen

Semenjak krisis ekonomi 1998 hingga krisis keuangan global kegiatan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) mampu bertahan. Ekonom kerakyatan, pejuang reformasi, atau peneliti ekonomi dari Bank Dunia hampir bulat menyepakati bahwa usaha kecil dan menengah paling tahan terhadap guncangan krisis moneter. Mulyanto (2008) roda ekonomi Indonesia bisa bergerak sedikit demi sedikit karena keberadaannya. Oleh karena itu, menurut Radhi (2008) dalam sistem ekonomi kerakyatan, pengembangan industri pedesaan melalui usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) merupakan langkah strategic dalam pembangunan ekonomi bangsa.
Pengalaman di negara-negara maju menunjukan bahwa UKM adalah sumber dari inovasi produksi dan teknologi, pertumbuhan jumlah wirausahawan yang kreatif dan inovatif dan penciptaan tenaga kerja terampil dan fleksibel dalam proses produksi untuk menghadapi perubahan permintaan pasar yang cepat (Tambunan, 2002).
Menurut data Biro Pusat Statistik dan Kementerian Koperasi dan UKM tahun 2005, jumlah UKM di Indonesia mencapai 43,22 juta. Sektor UKM di Indonesia terbukti telah menyerap 79,6 juta tenaga kerja, mempunyai andil terhadap 19,94% nilai ekspor dan 55,67% Produk Domestik Bruto (PDB) (Nurul Indarti, 2007).
Dikaitkan dengan adanya otonomi daerah, masing-masing daerah didorong untuk memanfaatkan sumber daya lokal dalam meningkatkan daya saing produk-produk yang dihasilakan oleh UKM yang terdapat di daerah-daerah. Begitupun dengan kabupaten Kebumen yang masuk sepuluh besar kabupaten termiskin di pulau Jawa. Kabupaten Kebumen merupakan kabupaten yang terletak di pesisir Jawa bagian selatan. Jawa bagian Selatan sejak lama ditengarai sebagai daerah tertinggal, setidaknya bila dibandingkan dengan kawasan lain di Jawa. Begitupun dengan kabupaten Kebumen. Paling tidak terdapat tiga kabupaten di pesisir Jawa bagian selatan yang masuk rangking sepuluh kabupaten di Jawa dengan angka kemiskinan tertinggi yang salah satunya adalah kabupaten Kebumen, yakni 30,25% (lihat Prisma, 2010).
Tambunan (2002) dengan diberlakukannya otonomi daerah, UKM di daerah akan menghadapi suatu perubahan besar yang sangat berpengaruh terhadap iklim berusaha/persaingan di daerah. Perkembangan UKM menurut data dinas Perindagkop kabupaten Kebumen berjumlah 48.354 unit usaha yang bergerak di bidang industri sebesar 36.292 unit usaha dan sektor perdagangan dan jasa sebesar 12.062 unit usaha. Dari sektor usaha industri menengah berjumlah 8 unit usaha. Sedangkan usaha kecil sebanyak 1.182 unit usaha. Peran UKM terhadap penyerapan tenaga kerja di Kebumen mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 12.501 orang.
UKM di Kebumen merupakan industri yang masih tetap eksis karena kegiatan bidang ini tidak terpengaruh dengan adanya krisis. Hal ini dapat dilihat di beberapa sentra industri kecil masih tetap berproduksi seperti biasanya, dan bahkan diantaranya terdapat produk yang sangat meningkat bahkan pemasarannya eksport, yaitu anyaman pandan (lihat Fatoni, 2009). Pada tahun 2008 tercatat terdapat 1.192 unit UKM dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 12.700 tenaga kerja dengan nilai investasi yang tertanam sebesar 21,3 miliar.

Pada tahun 2010 prediksi jumlah industri besar dan menengah akan tetap. Sedangkan industri kecil dan rumah tangga belum dapat diprediksi. Pada tahun 2010 pengusaha besar diprediksi naik sebanyak 31 orang. Sedangkan pengusaha kecil diprediksi naik sejumlah 287 orang. Penambahan ini diprediksi dengan adanya pengajuan SIUP dagang kecil dan menengah masing-masing 287 dan 31 orang.
Keadaan ini menunjukan bahwa kabupaten kebumen mempunyai potensi pengembangan usaha kecil dan menengah. Namun terdapat beberapa masalah yang masih menjadi hambatan, yaitu lemahnya sarana dan prasarana pendukung pengembangan UKM yang belum selesai, rasio anggaran yang tersedia dengan jumlah UKM yang belum seimbang, lemahnya penguasaan manajemen, terbatasnya penguasaan pasar, lemahnya akses permodalan karena pada umumnya tidak memiliki agunan, dan lemahnya penguasaan teknologi (lihat Fatoni, 2009).
Gender kaitannya dalam UKM menurut Tambunan (2002) di Negara-negara berkembang/miskin, termasuk Indonesia, banyak perempuan melakukan kegiatan ekonomi di luar rumah seperti menjadi pedagang kecil, pemilik warung dan membantu suami mengelola usaha rumah tangga semata-mata untuk menambah pendapatan keluarga. Jumlah perempuan yang terlibat sebagai wirausaha di UKM, khususnya usaha kecil di Indonesia cukup signifikan, baik sebagai pemilik atau sebagai pimpinan usaha atau sebagai manajer bersama dalam suami.
Dalam Jurnal Pengkajian Koperasi dan UKM Nomor 1 Tahun I - 2006, perempuan berpotensi untuk melakukan berbagai kegiatan produktif yang menghasilkan dan dapat membantu ekonomi keluarga, dan lebih luas lagi ekonomi nasional. Perempuan sangat potensial dan memiliki kompetensi dalam pengembangan usaha kecil, menengah, maupun koperasi, baik perempuan tersebut sebagai pelaku bisnis, pengelola/pendamping, atau sebagai tenaga kerja. Tentu saja masih terus ditingkatkan kualitas dan profesionalismenya dengan peningkatan kemampuan dan keterampilannya. Apalagi, Tambunan, (2002) Indonesia berada pada tempat terdepan dalam kebijaksanaan pengarusutamaan gender. Upaya-upaya demi perbaikan peran dan status perempuan telah dicerminkan di Indonesia semenjak akhir abad yang lampau, dimulai dengan konggres perempuan Indonesia pertama tahun 1928.
Namun di kabupaten Kebumen, peran perempuan dalam kegiatan UKM dapat dikatakan belum berpartisipasi secara aktif. Menurut daftar perusahaan UKM yang terdaftar di dinas Perindustrian Perdagangan & Koperasi (Perindagkop) kabupaten Kebumen, porsi peran perempuan dalam pengelolaan dan kepemilikan UKM hanya sebesar 20%. Sedangkan sisanya 80% dimiliki dan dikelola oleh laki-laki dari total UKM yang terdaftar sebanyak 243 unit usaha. Dengan kata lain, potensi perempuan dalam melakukan perannya sebagai wirausaha di kabupaten Kebumen belum signifikan.
Sutini Suderajat, (2010) Peran perempuan dalam menjalankan UKM di Kebumen sekitar 20-30 persen dari jumlah seluruh UKM yang ada di Kebumen. Alasan perempuan melakukan kegiatan bisnis karena masih sebatas tanggung jawab pada kebutuhan keluarga. Motivasi perempuan dalam melakukan kegiatan bisnis lebih merupakan tekanan untuk menopang kebutuhan keluarga. Hal ini yang mengakibatkan tingkat kinerja bisnis yang dijalankan oleh perempuan masih rendah bila dibandingkan dengan bisnis yang dijalankan oleh kaum laki-laki. Dilihat dari kinerja usaha yang dimiliki-dikelola oleh perempuan dapat dikatakan tidak maksimal. Sebagian besar kinerja UKM yang dipunyai/dikelola oleh perempuan lebih rendah dari pada kinerja UKM yang dikelola oleh laki-laki.
Hal senada juga dijelaskan dalam rencana strategis dinas Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Masyarakat (KBPM) sebagai mitra dinas Disperindagkop kabupaten Kebumen dalam menjalankan program pemberdayaan perempuan di sektor UKM bahwa salah satu masalah dalam agenda pembangunan, penanggulangan kemiskinan, dan kesejahteraan sosial adalah ketidaksetaraan dan keadilan gender. Laki-laki dan perempuan memiliki pengalaman kemiskinan yang berbeda. Dampak yang diakibatkan oleh kemiskinan terhadap kehidupan laki-laki juga berbeda dengan perempuan. Sumber dari permasalahan kemiskinan perempuan terletak pada budaya patriarki yang bekerja melalui pendekatan, metodologi dan paradigma pembangunan. Sistem kebijakan pemerintahan telah meminggirkan perempuan melalui kebijakan, program dam lembaga yang tidak responsif gender.

Nilai Kewirausahaan dan Gender
Menurut Ritzer (2004) tampaknya tak terbantahkan bahwa gender seseorang – laki-laki atau perempuan – berbasis biologis. Orang dipandang sekedar menampilakan perilaku yang tumbuh dari tampilan biologis mereka. Jenis kelamin (sexiness) jelas merupakan capaian; orang butuh bertindak dan bicara dengan satu dan lain cara agar bisa terlihat “berjenis kelamin”. Najlah Nakiyah (2005) namun, istilah gender dipakai untuk pengertian jenis kelamin secara non-biologis, yaitu secara sosiologis dimana perempuan direkonstruksikan sebagai mahluk yang lemah lembut sedangkan laki-laki sebagai mahluk yang perkasa. Hal yang sama juga dijelaskan bahwa gender adalah perbedaan peran, perilaku, perangai laki-laki dan perempuan oleh budaya/masyarakat melalui interpretasi terhadap perbedaan biologis laki-laki dan perempuan. Jadi gender, tidak diperoleh sejak lahir tapi dikenal melalui proses belajar (sosialisasi) dari masa anak-anak hingga dewasa.
Perempuan dalam kemelut Gender, (2002) Setiap masyarakat mengembangkan identitas gender yang berbeda, tetapi kebanyakan masyarakat membedakan laki-laki dan perempuan dengan maskulin dan feminim. Maskulin identik dengan keperkasaan, bergelut di sektor publik, jantan, agresif. Sedangkan feminim identik dengan lemah lembut, berkutat di sektor domestik (rumah), pesolek, pasif, dan lemah. Fakih (1996) mengemukakan konsep gender yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa.
Najlah Nakiyah (2005), Perempuan adalah manusia yang mempunyai potensi untuk tumbuh dan berkembang. Sebagai manusia ia lahir dengan naluri untuk sukses dan terus maju dalam kehidupan yang ditempuhnya. Posisi perempuan yang selama ini menjadi nomor dua (women is second sex) akan mengebiri dan menindas perempuan. Secara sosiokultural, perempuan dibatasi oleh budaya patriarkat yang kukuh dan tidak mudah merobohkannya.
Najlah Nakiyah (2005) menjelaskan bahwa secara ideal, perempuan menginginkan keadilan dan persamaan peran pada segala dimensi kesehariannya, seperti politik, ekonomi, dan sosial. Harapan itu sepertinya hanya sebatas mimpi yang sulit diwujudkan. Pada dimensi sosial, perempuan sering kali tersubordinasi oleh realitas yang meminggirkan perannya di wilayah publik. Ketidaksetaraan muncul di permukaan masyarakat tatkala perempuan menikah dan harus mengerjakan pekerjaan domestik, serta pengabaikan peran publik. Bahkan pada kasus pernikahan dini, perempuan tidak memiliki kecakapan hidup (life skill) yang memadai untuk berperan aktif pada tataran relasi sosial. Banyaknya perempuan berpendidikan rendah menambah problem pengangguran kerja karena potensinya tenggelam oleh keterbatasan yang memasung kreativitasnya. Pasungan itu bisa diciptakan oleh dirinya atau muncul dari proteksi orang dekatnya. Seperti, Masochisme adalah bentuk menyakiti diri sendiri agar memperoleh kesenangan. Posisi perempuan menjadi tertekan dengan mengandalkan sifat cinta secara berlebihan dan mengorbankan banyak waktu untuk merenungi, merefleksi, dan melarutkan diri pada kesadaran pasif .
Budaya di masyarakat desa memandang perempuan sebagai orang kelas dua, maka prioritas utama pendidikan diberikan sepenuhnya kepada anak laki-laki untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Karakter masyarakat yang terpinggirkan akan mudah kehilangan semangat berjuang (unconsciousness motivation) untuk memperbaiki kualitas hidupnya (Najlah Nakiyah, 2005).
Mulyanto (2006) Dalam kehidupan masyarakat Asia Tenggara, perempuan adalah penguasa dapur. Artinya, perempuan menguasai pengelolaan keuangan, redistribusi pendapatan, dan alokasi konsumsi. Latar sosial-budaya inilah yang bisa menjawab pertanyaan mengenai hubungan perempuan dengan usaha kecil. Keterlibatan perempuan dalam usaha kecil didorong oleh beragam alasan. Djamal (2000) menemukan bahwa 80 persen perempuan yang disurveinya beralasan membantu suami dan rumah tangga. Sing, dkk., 2000 menemukan bahwa lebih dari 56 persen menyebutkan memperoleh pendapatan tambahan sebagai alasan memasuki usaha kecil, dan selebihnya menjawab ingin mandiri. Van Velzen, 1990 menyatakan Warisan dari orang tua juga alasan yang melatari keterlibatan perempuan (dikutip oleh Mulyanto, 2006).
Mulyanto (2006) mengatakan gender dan kegiatan usaha seringkali tidak bisa diabaikan keterkaitannya. Beberapa jenis usaha sangat beraroma gender. Tambunan (2006) menjelaskan ada perbedaan antara penguasaha perempuan dan pengusaha laki-laki, yang ditentukan terutama oleh budaya dan aspek-aspek yang menyentuh seperti penilaian sosial/masyarakat umum terhadap perempuan karier, beban rangkap (sebagai ibu rumah tangga dan pelaku bisnis) dan keterbatasan mobilitas.
Dari uraian diatas bahwa perempuan terhambat oleh struktur-struktur sosial dalam penciptaan dan pengelolaan bisnis mereka. Jelas, lingkungan budaya, ekonomi, dan sosial memiliki pengaruh pada nilai-nilai kewirausahaan antara pemilik-pengelola UKM yang kemudian berimplikasi pada kinerja usaha mereka.
Najlah Nakiyah (2005) namun, perempuan bisa saja berperan pada sektor kerja yang didominasi laki-laki, seperti berhubungan dengan mesin, kalau ia memang kapabel di dalam bidangnya. Seiring dengan nyanyian pembebasan yang tererus didengungkan dan ditabuhnya beduk persaingan yang sehat memerlukan upaya lebih serius dari perempuan.
Robbins (2007) dalam menjalankan bisnis, nilai mengandung unsur pertimbangan yang mengembangkan gagasan-gagasan seorang pribadi atau sosial lebih dipilih dibandingkan dengan bentuk perilaku atau atau bentuk akhir keberadaan perlawanan atau kebaikan. Nilai penting untuk dipelajari perilaku organisasi karena nilai menjadi dasar untuk memahami sikap dan motivasi serta karena nilai mempengaruhi persepsi kita.
Menurut Suhairi (2006) salah satu sumber yang unik yang dimiliki sebuah perusahaan skala kecil dan menengah adalah nilai kepribadian seseorang wirausaha, yakni nilai-nilai kepribadian yang melekat pada diri seseorang pemilik yang sekaligus juga pimpinan dari sebuah perusahaan. Pada umumnya nilai yang dianut dalam menjalankan bisnis adalah nilai-nilai kewirausahaan. Suryana, (2006) Kewirausahaan (enterpreneurship) adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kita, dan sumber daya untuk mencari peluang menuju sukses. Menurutnya, proses kreatif hanya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kepribadian kreatif dan inovatif, yaitu orang yang memiliki jiwa, sikap, dan perilaku kewirausahaan, dengan ciri-ciri; (1) penuh percaya diri, indikatornya adalah penuh keyakinan, optimis, berkomitmen, disiplin, bertanggung jawab; (2) memiliki inisyatif, indikatornya adalah penuh energi, cekatan dalam bertindak, dan aktif; (3) memiliki motif berprestasi, indikatornya terdiri atas orientasi pada hasil dan wawasan ke depan; (4) memiliki jiwa kepemimpinan, indikatornya adalah berani tampil beda, dapat dipercaya, dan tangguh dalam bertindak; (5) berani mengambil resiko dengan penuh perhitungan (oleh karena itu menyukai tantangan).
Sukirno (2006) menjelaskan definisi kewirausahaan dalam aspek psikologi, yakni sufat kewirausahaan dikaitkan dengan perilaku diri yang lebih cenderung kepada fokus dari dalam diri (dimana keberhasilan dicapai dari hasil kekuatan dan usaha sendiri, bukan karena faktor nasib). Ini termasuk sifat-sifat pribadi seperti tekun, rajin, inovatif, kreatif, dan semangat yang terus menerus berkembang untuk bersikap independen.
Budiretnowati (2008) berbagai hasil penelitian antara lain yang dilakukan oleh Departemen Koperasi dan UKM tahun 1996 menyebutkan bahwa kewirausahaan merupakan kunci dari keberhasilan UKM. Keberhasilan UKM sukses ternyata tidak hanya karena keahlian yang dimiliki, tetapi juga dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jiwa kewirausahaan dan kreativitas individual yang melahirkan inovasi.
Sukirno (2006) perusahaan kecil tidak dapat dipisahkan dengan kewirausahan. Kegiatan seorang wirausaha sering dikaitkan dengan perusahaan kecil, dan hal itu disebabkan karena ciri yang ada pada seorang wirausahawan yang dikatakan tidak dapat bekerja di dalam organisasi besar.
Afiah (2009) salah satu program peningkatan kapabilitas UKM yang sering dilaksanakan dalam rangka peningkatan kemampuan SDM adalah pengembangan kewirausahaan pengusaha UKM. Pengembangan kewirausahaan bertujuan untuk meningkatkan kemandirian usaha, kemampuan bisnis, dan jiwa kepemimpinan dalam sektor UKM, sehingga diharapkan dapat meningkatkan daya saing dan kualitas operasional UKM.
Hall dan Kelly, Haar dan Moini, (dikutip oleh Tambunan, 2002) menjelaskan sejumlah studi menemukan bahwa sikap, nilai, persepsi mengenai resiko, belajar terus menerus, keahlian manajerial, pemasaran dan dalam proses produksi (termasuk teknologi), ketersediaan sumber daya produksi (termasuk keuangan), penyesuaian terhadap struktur organisasi, dan ketersediaan informasi dan penggunaannya yang efektif, merupakan faktor-faktor internal yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap keberhasilan eksport.