25 Desember 2009

Kesejahteraan Buruh, Masih Terpinggirkan

Ekonom-ekonom mainstream (arus utama) di Indonesia terlebih pendukung pemerintah sangat percaya diri ketika menjelaskan kemantapan kondisi perekonomian secara makro di Indonesia. Misalnya saja, dalam pemberitaan di media masa bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukan peningkatan yang mantap. Sedangkan variable yang memang secara riil dirasakan oleh masyarakat diabaikan. Pemerintah hanya menghitung dan memberikan informasi yang tidak seimbang.
Akan tetapi dalam kondisi riilnya, masyarakat merasakan kondisi yang sangat berbeda dari apa yang banyak dijelaskan oleh para ekonom-ekonom pemerintah, terutama pada tingakt kesejahteraan Banyak ulasan yang bernada positif mengenai kondisi perekonomian Indonesia, sementara masyarakat/rakyat merasakan hidup dengan kesulitan ekonomi yang tidak berkesudahan. Kampanye pemerintah untuk menjaga kesehatan memang harus diperhatikan, dikritisi. Sebab, bukan soal sakitnya namun biaya super mahal yang harus ditanggung oleh warga yang tidak sejahtera. Bahkan untuk pergi ke rumah sakit harus betul-betul meraskan sakit.
Secara khusus kita bisa melihat potret tingkat kesejahteraan buruh. Dari mulai ditemukan teori pertentangan kelas oleh Karl Marx, buruh atau pekerja selalu disudutkan pada pertentangan-pertentangan terhadap kelas borjuis. Pertentangan-pertentangan kelas hingga saat ini masih menjadi momok yang tidak berujung. Kelas buruh selalu menjadi korban di dalam kerangkeng struktur sosial dan ekonomi kapitalisme.
Dalam struktur sosial ekonomi pemerintah bertugas menjadi wasit di arena pertandingan antara pekerja dan pengusaha. Kebijakan-kebijakan yang ditelorkan oleh pemerintah merupakan bentuk keputusan yang adil bagi pekerja/buruh dan pengusaha. Namun, terkadang kebijakan-kebijakan pemerintah berimplikasi tidak adil bagi buruh/pekerja. Ketidakadilan yang secara material dapat dihitung anatara lain dengan kesejahteraan material.

Kesejahteraan Riil Buruh
Upah Minimum merupakan bentuk keputusan yang diberikan kepada buruh sebagai bentuk imbalan minimum yang harus diberikan oleh pengusaha. Tujuan upah minimum salah satunya adalah meningkatkan daya beli masyarakat, yang pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi secara umum.
Ironis, ketika kita melihat data upah untuk mendorong pertumbuhan ternyata bertolak belakang. Tujuan dari upah minimum sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi hanya sekedar wacana dan belum terlaksana hingga kini. Logika upah sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi yang dibangun pemerintah tebantahkan dengan adanya upah yang masih dibawah Kondisi hidup layak.
Dari data Direktorat Pengupahan dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja tahun 2009 diperoleh bahwa Prosentase Upah Minimum terhadap Kondisi Hidup Layak (KHL) sebesar 84.91%. Dengan rata-rata Upah Minimum Propinsi (HMP) di Indonesia sebesar Rp 841.530 dengan dirata-ratakan maka KHL di Indonesia sebesar Rp 1.010.355 per propinsi.
KHL Upah Minimum ditentukan atas dasar Kebutuhan Hidup Layak (KHL), Indeks Harga Konsumen (IHK), produktivitas dan kemampuan perusahaan, pasar kerja, dan tingkat perkembangan ekonomi. Ukuran setiap kesejahteraan mempunyai metode pengukuran atau kriteria sendiri-sendiri. Misalnya, menurut bank Bunia bahwa seseorang dikatan sejahtera jika telah mengeluarkan pengeluaran untuk konsumsi sebesar 2 dollar atau sekita Rp. 19.000 (1 USD=Rp9.500). Artinya, untuk 1 bulan harus mengeluarkan untuk konsumsi sebesar Rp 570.000. Terdapat juga yang menggunakan ukuran jumlah beras yang harus dikonsumsi. Pekerja Lajang seberat 12.6 Kg beras, Keluarga 2 anak (K2) seberat 37.5 Kg beras, dan Keluarga dengan 3 anak (K3) seberat 45 kg beras. Terdapat juga yang menggunakan metode dengan ukuran 3.000 kilo kalori yang harus dikonsumsi.
Sesuai data yang disajikan oleh Direktorat Pengupahan dan Jaminan Sosial Tenaga kerja tahun 2009, penetapan UMP Jawa Tengah sebesar 575.000 perbulan. Sedangkan Kondisi Hidup Layak (KHL) yang harus dipenuhi untuk hidup di Jawa Tengah, jika dipukul rata adalah Rp 793.700 perbulan.
Dari angka tersebut bisa disimpulkan sementara bahwa buruh secara umum belum bisa merasakan hidup yang layak. Jika dihitung secara presentase, sebesar 72.45% yang baru dipenuhi untuk hidup secara layak. Diproyeksikan bahwa kondisi tersebut akan hampir sama ditahun mendatang. Untuk 2010 saja usulan UMK yang sudah disetujui kepala daerah akan diusulkan ke gubernur belum bisa 100 persen dari kebutuhan hidup layak (KHL).

Kondisi yang menjelaskan belum terpenuhinya hidup layak buruh sebagai bentuk ukuran kesejahteraan yang paling minimum, mempunyai nasib yang sama dengan propinsi-propinsi lainnya. Kebijakan-kebijakan pemerintah pusat maupun propinsi belum mampu memberikan dampak yang signifikan terhadap kesejahteraan buruh. Pemerintah masih menganggap bahwa proses penciptaan kesejahteraan sebatas teknis dan kuantitatif. Hendaknya harus dipikirkan pula secara strategis bagaimana kemudian pemerintah menciptakan kebijakan ekonomi, misalnya, yang secara fundamental mempengaruhi kesejahteraan buruh atau pekerja.
Secara metodologis, hal senada mengenai tingkat kesejahteraan yang belum dinikmati oleh buruh yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia, dibuktikan dan diamini dengan banyak survei yang dilakukan lembaga-lembaga penelitian sosial, ekonomi, dan politik. Bahwa Menteri Sosial dan Menteri Tenaga Kerja dan Tansmigrasi dianggap belum optimal bekerja.

Kadaulatan Buruh
Menyempurnakan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja tidak serta merta hanya termotivasi akan material saja. Secara internal, kemampuan dan skill pekerja buruh harus mumpuni ketika menghadapi pekerjaannya. Peranan pendidikan dan pelatihan kerja memiliki arti penting dalam memenuhi tuntutan kebutuhan tenaga terampil dalam berbagai jenis pekerjaan. Tuntutan akan kualitas tenaga kerja menjadi semakin mendesak. Peran dan fungsi pendidikan dan pelatihan kerja berbasis kompetensi (competency based training) menjadi langkah penting dan strategis untuk terus menerus diupayakan dan dikembangkan. Dengan dikembangkannya pendidikan dan pelatihan kerja berbasis kompetensi, maka lulusan/tamatan pendidikan dan pelatihan kerja dapat mengikuti uji kompetensi dalam rangka mendapatkan sertifikasi kompetensi dapat menjadikannya sebagai daya tawar tersendiri terhadap pengusaha.
Yang menjadi momok dan berdampak pada lemahnya daya tawar tenga kerja/buruh Indonesia dalam dunia kerja adalah persoalah keahlian yang dimiliki pekerja belum mumpuni. Seolah yang dibutuhkan bukan lagi pekerja dengan keahliannya namun yang dibutuhkan lebih pada pekerjaan itu sendiri untuk menggeser status pengangguran. Kondisi ini justru akan memperparah pekerja itu sendiri. Sebab, pengusaha akan lebih mempunyai kesewenangan-wenangan dalam hubungan kerja. Dengan demikian ketahanan pekerja dalam rangka menciptakan kedaulatan pekerja akan menjadi lemah.
Variabel lainnya yaitu, sejak reformasi, euphoria demokrasi semakin tak terkendali. Kebebasan berkumpul dan berorganisasi dijamin oleh undang-undang. Perjuangan kaum buruh dalam rangka untuk mendapatkan hak mereka masih menjadi komoditas kampanye elite politik. Namun, politisasi buruh belum berimplikasi langsung pada perbaikan kesejahteraan buruh. Suara buruh selalu diperebutkan dalam setiap pemilu. Setidaknya terdapat 37 juta buruh sektor formal.
Selain itu, para elite buruh acapkali sengaja melibatkan diri dalam politik praktis. Kondisi ini melemahkan gerakan buruh dan menggerus soliditas buruh. Misalnya, Kasus Mengenai bagaimana harus bersikap terhadap Pemilu 2009, pandangan buruh dan serikat buruh terbelah. 3 Konfederasi seperti KSPSI, KSPI dan KSBSI, 20 Federasi serikat pekerja dan 7 organisasi pemerhati buruh, menyerukan kepada semua buruh untuk menggunakan hak pilihnya di Pemilu Legislatif pada April 2009 mendatang. Mereka berharap agar caleg yang dipilih adalah para kader-kader serikat pekerja dan aktivis buruh di partai politik mana pun. Sekadar informasi, beberapa serikat pekerja atau aktivis buruh memang sudah terikat ‘kontrak’ dengan partai politik. Sedangkan dalam Pemilu untuk memilih Presiden/Wakil Presiden, serikat pekerja akan melaksanakan kongres pekerja untuk menetapkan pilihannya. Kandidat yang dipilih tentu yang memiliki visi dan misi bagi peningkatan kesejahteraan buruh.
Sementara seruan untuk ‘golput’ alias tak menggunakan hak pilih di Pemilu 2009, datang dari Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI). Kondisi hasil pemilu sebagai kegitan politik hanya menghasilkan janji-janji kosong yang tidak pernah ditepati dan mengecewakan.
Semestinya serikat pekerja mampu memposisikan dirinya sebagai kekuatan politik yang konsisten dalam menjabarkan berbagai rencana mereka soal ketenagakerjaan. Sehingga serikat pekerja tidak hanya sebagai objek dan komoditas tarik-menarik diantara kepentingan politik.
Hal yang bisa diandalkan oleh aktivis dan serikat pekerja sampai sejauh ini adalah peran individu dalam perubahan sosial. Tak jarang dan menjadi keharusan meningkat menjadi kumpulan individu yang terorganisir, sebuah komponen masyarakat, yang memotori perubahan dalam hal tertentu. Dan dalam beberapa kasus, pekerja dan serikat pekerja ini harus berhasil mendapatkan dukungan atau partisipasi dari masyarakat yang lebih luas.
Dalam konteks ini, eksplorasi nilai-nilai normatif sering kali menjadi langkah efektif. Tema-tema peradaban, kemanusiaan, nilai-nilai agama, dan nilai-nilai luhur lain yang universal harus dimunculkan kembali yang lebih massif (Awalil Rizky, 2007).
Sebagai serikat pekerja yang menjadikan sebuah gerakan hendaknya bisa mengembangkan kerja sama dan aliansi. Sangat mungkin dikembangkan aliansi strategis dan taktis atas dasar pemahaman ketenagakerjaan. Untuk beberapa komponen, bahkan bisa dibangun aliansi idealis, dimana terdapat banyak kesamaan mengenai idealita dan kedaulatan buruh/pekerja yang diperjuangkan untuk terwujud. Semoga.

*diambil dari berbagai sumber