Hingga kini, beberapa PTN terkenal, seperti Universitas Indonesia (UI) Jakarta, Institut Teknologi Bandung (ITB) Bandung, Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Institut Pertanian Bogor (IPB) Bogor telah berbadan hukum milik negara (BHMN) sebagai bentuk privatisasi dalam dunia pendidikan. Oleh masyarakat miskin mengamini bahwa BHMN adalah perkembangan proyek komersialisasi pendidikan di negeri yang selama ini semrawut dalam mengurusi dunia pendidikannya.
Dalam pemutakhiran selanjutnya, lahirlah Badan Hukum Pendidikan (BHP). Pengejawantahan otonomi kampus yang kebablasan justru melahirkan komersialisasi pendidikan yang justru memihak pada modal atau kapitalisme. Ironis memang, beberapa pola yang terkandung dalam RUU BHP yang sudah disahkan justru memberi ruang sempit bagi seluruh elemen masyarakat untuk mengakses pendidikan hingga tingkat Perguruan Tinggi.
Predikat privatisasi terus mengekor pada sektor pendidikan sarat dengan pendekatan modal. Pendidikan sebagai salah satu pranata sosial kemasyarakatan yang dekat dengan kemaslahatan publik tidaklah pantas demikian. Terlebih secara konkrit, sebanyak 400 perguruan tinggi bakal ber-Badan Hukum Pendidikan (Antara News, Desember 2008). Apakah akan tetap dipungkiri oleh pemimpin negeri ini dan juga kita sebagai orang/masyarakat yang hidup di negeri ini, jika faktanya memang berbicara demikian?
Sejatinya, pendidikan adalah hak bagi seluruh warga negara. Oleh karena itu, seharusnya pemerintahlah yang paling bertanggung jawab akan hal ini secara holistik. Bagaimanapun juga, negara akan dianggap mempunyai arti dalam menciptakan berperadaban yang maju jika kondisi pendidikan yang sedang dijalankannya tidak menimbulkan banyak masalah negatif.
Langkah pemerintah menggolkan RUU BHP menjadi Undang-Undang dan menjadi prioritas nasional, kiranya kurang bersahabat dengan rakyat. Langkah ini dapat melahirkan penindasan dan privatisasi pendidikan yang lebih mutakhir. Konsekuensinya, pemerintah tidak banyak melakukan intervensi. Sekilas terlihat sangat bijak, namun jika dilihat lebih lanjut hal ini akan berdampak pada jumlah subsidi yang diberikan oleh pemerintah, akhirnya biaya pendidikan semakin mahal.
Hal tersebut merupakan dampak jangka pendek yang dapat dirasakan, namun dampak langsung dalam waktu jangka panjang adalah terjadi insolidaritas sosial. Dapat dibayangkan jika biaya pendidikan mahal dan berhasil meluluskan seorang sarjana maka kemungkinan yang terjadi adalah sarjana tersebut akan berupaya penuh untuk mengembalikan moda/ biaya (cost) yang telah dibayarkan sebelumnya. Jika ia menjadi seorang dokter, maka bisa saja dia membuat tarif yang lebih tinggi dari harga normal.
Contoh tersebut di atas sudah menjadi common sense di negeri zamrud katulistiwa ini. Dengan demikian, sebagaimana prinsip nirlaba, pendidikan akan menerima gelontoran dana yang mengucur dari orang-orang kapitalis yang sarat dengan kepentingan pribadi dan berkecenderungan untuk mencari kuntungan. Disahkannnya RUU BHP justru menjadi kado akhir tahun yang semakin menambah panjang catatan tentang berbagai regulasi pendidikan yang telah diterbitkan oleh pemerintah tetapi semuanya masih carut marut pada tataran implementasi. Mulai dari UU Guru dan Dosen dengan program sertifikasi guru yang banyak menimbulkan riak permasalahan, Standar Nasional Pendidikan dengan delapan standarnya yang seakan masih jauh bumi dari langit, hingga kebijakan anggaran 20% untuk pendidikan yang ternyata didalamnnya masih termasuk gaji pendidik dan tenaga kependidikan. Inikah konsep yang akan dipilih oleh masyarakat Indonesia ?
Peradaban suatu bangsa berkaitan dengan tingkat kecerdasannya. Upaya mencerdaskan kehidupan bangsa tidak sekedar diukur dengan banyaknya regulasi dan kata-kata dalam berbagai produk legislasi dan konstitusi yang disahkan. Terlayani dan terjangkaunya rakyat memperoleh akses layanan pendidikan yang berkualitas adalah jauh lebih penting dari segalanya. Namun apa ini hanya sekedar harapan atau impian belaka? Wallohu a'lam Bish Sowaab