31 Desember 2008

Pendidikan Yang Harus Dibeli Dengan HARGA Mahal

Sangatlah wajar jika pendidikan kerap menjadi bahan perbincangan di ruang publik. Mulai dari kekerasan dalam lembaga pendidikan kedinasan, Undang-Undang Sisdiknas, pergantian kurikulum dan kompetensi tenaga kependidikan, pelaksanaan ujian nasional (UN) yang kontroversi, hingga mahalnya biaya pendidikan sebagai akibat dari pengejawantahan otonomi kampus yang kebablasan.
Hingga kini, beberapa PTN terkenal, seperti Universitas Indonesia (UI) Jakarta, Institut Teknologi Bandung (ITB) Bandung, Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Institut Pertanian Bogor (IPB) Bogor telah berbadan hukum milik negara (BHMN) sebagai bentuk privatisasi dalam dunia pendidikan. Oleh masyarakat miskin mengamini bahwa BHMN adalah perkembangan proyek komersialisasi pendidikan di negeri yang selama ini semrawut dalam mengurusi dunia pendidikannya.
Dalam pemutakhiran selanjutnya, lahirlah Badan Hukum Pendidikan (BHP). Pengejawantahan otonomi kampus yang kebablasan justru melahirkan komersialisasi pendidikan yang justru memihak pada modal atau kapitalisme. Ironis memang, beberapa pola yang terkandung dalam RUU BHP yang sudah disahkan justru memberi ruang sempit bagi seluruh elemen masyarakat untuk mengakses pendidikan hingga tingkat Perguruan Tinggi.
Predikat privatisasi terus mengekor pada sektor pendidikan sarat dengan pendekatan modal. Pendidikan sebagai salah satu pranata sosial kemasyarakatan yang dekat dengan kemaslahatan publik tidaklah pantas demikian. Terlebih secara konkrit, sebanyak 400 perguruan tinggi bakal ber-Badan Hukum Pendidikan (Antara News, Desember 2008). Apakah akan tetap dipungkiri oleh pemimpin negeri ini dan juga kita sebagai orang/masyarakat yang hidup di negeri ini, jika faktanya memang berbicara demikian?
Sejatinya, pendidikan adalah hak bagi seluruh warga negara. Oleh karena itu, seharusnya pemerintahlah yang paling bertanggung jawab akan hal ini secara holistik. Bagaimanapun juga, negara akan dianggap mempunyai arti dalam menciptakan berperadaban yang maju jika kondisi pendidikan yang sedang dijalankannya tidak menimbulkan banyak masalah negatif.
Langkah pemerintah menggolkan RUU BHP menjadi Undang-Undang dan menjadi prioritas nasional, kiranya kurang bersahabat dengan rakyat. Langkah ini dapat melahirkan penindasan dan privatisasi pendidikan yang lebih mutakhir. Konsekuensinya, pemerintah tidak banyak melakukan intervensi. Sekilas terlihat sangat bijak, namun jika dilihat lebih lanjut hal ini akan berdampak pada jumlah subsidi yang diberikan oleh pemerintah, akhirnya biaya pendidikan semakin mahal.
Hal tersebut merupakan dampak jangka pendek yang dapat dirasakan, namun dampak langsung dalam waktu jangka panjang adalah terjadi insolidaritas sosial. Dapat dibayangkan jika biaya pendidikan mahal dan berhasil meluluskan seorang sarjana maka kemungkinan yang terjadi adalah sarjana tersebut akan berupaya penuh untuk mengembalikan moda/ biaya (cost) yang telah dibayarkan sebelumnya. Jika ia menjadi seorang dokter, maka bisa saja dia membuat tarif yang lebih tinggi dari harga normal.
Contoh tersebut di atas sudah menjadi common sense di negeri zamrud katulistiwa ini. Dengan demikian, sebagaimana prinsip nirlaba, pendidikan akan menerima gelontoran dana yang mengucur dari orang-orang kapitalis yang sarat dengan kepentingan pribadi dan berkecenderungan untuk mencari kuntungan. Disahkannnya RUU BHP justru menjadi kado akhir tahun yang semakin menambah panjang catatan tentang berbagai regulasi pendidikan yang telah diterbitkan oleh pemerintah tetapi semuanya masih carut marut pada tataran implementasi. Mulai dari UU Guru dan Dosen dengan program sertifikasi guru yang banyak menimbulkan riak permasalahan, Standar Nasional Pendidikan dengan delapan standarnya yang seakan masih jauh bumi dari langit, hingga kebijakan anggaran 20% untuk pendidikan yang ternyata didalamnnya masih termasuk gaji pendidik dan tenaga kependidikan. Inikah konsep yang akan dipilih oleh masyarakat Indonesia?
Peradaban suatu bangsa berkaitan dengan tingkat kecerdasannya. Upaya mencerdaskan kehidupan bangsa tidak sekedar diukur dengan banyaknya regulasi dan kata-kata dalam berbagai produk legislasi dan konstitusi yang disahkan. Terlayani dan terjangkaunya rakyat memperoleh akses layanan pendidikan yang berkualitas adalah jauh lebih penting dari segalanya. Namun apa ini hanya sekedar harapan atau impian belaka? Wallohu a'lam Bish Sowaab

25 September 2008

Ketergantungan Masih Kuat

Gejolak pasar uang dan modal global mempunyai pengaruh besar kondisi pasar uang dan modal di dalam negeri. Anjloknya harga IHSG merupakan bukti lemahnya perekonomian Indonesia terhadap pasar global. Artinya, Ketergantungan perekonomian Indonesia masih sangat kuat terhadap geliat perekonomian global. Selasa minggu kemarin, bursa perdagangan terpaksa tutup setelah IHSG anjlok 168 poin atau 10,3 persen ke posisi 1.451,669 yang tidak lain disebabkan kerena krisis finansial global.
Menjadi catatan penting, ketika pengalaman krisis ekonomi 1997 dan masih memburuknya kinerja perekonomian Indonesia hingga kini pada dasarnya disebabkan oleh karena integrasinya yang semakin erat pada tatanan kapitalisme internasional. Krisis yang begitu dahsyat dan berdampak buruk bagi raktyat Indonesia ternyata tidak teramalkan oleh para ahli ekonomi. Beberapa ekonom yang kritis dan yang bukan mainstreasms memang terlebih dahulu menyadari buruknya keadaan. Namun, pihak pemerintah dan ekonomi kebanyakan sama sekali tidak menduga akan adanya kejadian-kejadian pada tahun 1997 dan setahun setelahnya.
Penutupan Bursa Efek Indoneisa (BEI) yang dibarengi dengan langkah kebijakan penyelamatan bursa, minggu kemarin, bisa dibilang sebagai langkah yang untuk sementara bisa katakana tepat. Namun pemerintah masih harus was-was karena sebanyak 70% kepemilikan atas saham di pasar modal Indonesia saat ini dikuasai asing. Artinya, jika modal dengan tiba-tiba ditarik oleh pemiliknya dalam kondisi seperti ini sangat mungkin terjadi hostile take over terhadap sumber-sumber kekayaan (alam) Indonesia.

Pemerintah Tombok
Ditengah batuk-batuknya perekonomian Indonesia dan kesulitan-kesulitan BUMN, masih saja BUMN harus menomboki di BEI atas turunnya IHSG. Untuk mendorong pulihnya kembali IHSG di Bursa Efek Indonesia pemerintah terpaksa menyiapakan dana sebesar Rp 4 triliun sebagai modal melancarkan jurus buyback saham-saham BUMN yang sudah go public atau membeli saham emiten diluar BUMN. Belum lagi sejumlah dana telah dipersiapkan sebesar untuk meredam gejolak pasar uang dalam negeri.
Lagi-lagi BUMN dipaksa harus menjadi tumbal untuk menyelamatkan perdagangan di Bursa. Menurut pemerintah, Alasan BUMN sebagai tumbal atas kondisi krisis di bursa adalah alasan yang paling relistis. Sebab pemerintah hanya punya itu (BUMN)! Yang kemudian menjadi pertanyaan, siapakah yang diuntungkan? Dan siapakah yang dirugikan?
BUMN tidak lagi menjadi kebanggan soko guru perekonomian nasional dalam mensejahterkan rakyat pada umumnya. BUMN hanya sebagai jaminan jangka pendek atas gonjang-ganjingnya perekonomian yang tidak memihak kepentingan rakyat. Disisi lain, pasar modal Indonesia juga telah menyumbangkan banyak keuntungan terhadap modal asing yang parkir di pasar Indonesia. Saat ini, dengan pertimbangan pasar, kebijakan-kebijakan pemerintah belum tertarik pada keberpihakan dan pertimbangan strategis terhadap bangsa dan rakyat Indonesia.
Dibarengi dengan presiden SBY menetapkan kebijakan yang salah satunya memastikan sektor riil tetap bergerak. Sangat ironis, ketika melihat relita di lapangan bahwa banyak terjadi penggusuran-penggusuran penggerak sektor riil di berbagai daerah. Artinya ada sebuah ketidakkonsistenan pemerintah dalam menjalankan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya.
Patut menjadi perhatian bagi si pembuat kebijakan dalam menanggapi tanda-tanda gejolak finansial global saat ini. Masyarakat sangat berharap kepada pemerintah sebagai pengambil kebijakan strategis jangan sampai rakyat harus menanggung kembali dampak yang terjadi seperti krisis-krisis sebelumnya.
Meskipun agaknya terlambat, alangkah baiknya pemerintah dan bangsa Indonesia harus menyadari bahwa kita sebaiknya dalam konteks perekonomian nasional hendaknya mampu menciptakan kemandirian ekonomi. Tak dielakkan lagi, kekuatan eksternal global lebih mempunyai pengaruh sangat kuat terhadap kondisi perekonomian nasional. Dan, saat ini kita tidak punya apa-apa lagi.

*diambil dari berbagai sumber